Mantan Asisten Pastor Kini Hafal 30 Juz Al-Qur’an
kisahmuallaf.com
– ‘’Man Jadda Wajada.’’ (Barangsiapa bersungguh-sungguh, pastilah ia
akan berhasil). Ungkapan seorang bijak yang biasa dihafal kalangan
santri itu rupanya benar-benar diamalkan oleh Yulio Muslim da Costa,
seorang mualaf asal Tmor Timur. Berkat kesungguhannya, ia mampu
menghafal Alquran sebanyak 30 juz.
Sebelum memeluk Islam, ia bernama Yulio da Costa Freitas. Yulio terlahir dari keluarga yang amat sangat sederhana, 33 tahun silam, tepatnya 5 Januari 1977 di dusun Baruwali, Lautem, Timor-Timur. Awalnya, ia adalah seorang penganut agama Katholik yang terbilang aktif dalam aktivitas kegerejaannya.
Selain taat dengan keyakinannya, ia juga dipercaya sebagai pembantu pastor dalam setiap kegiatan rutinitas gereja, terutama dalam setiap acara misa mingguan. Seiring waktu, keimanannya mulai goyah. Setelah tiga tahun membantu pastor di gereja, Yulio mengaku sering mendengar bisikan di antara teman-temannya yang ragu akan kebenaran agama yang dipeluknya.
Terlebih, sanak saudaranya sudah banyak yang memeluk Islam. Hati Yulio pun semakin gundah. Perlahan-lahan keyakinannya terhadap agama Katholik yang dianutnya mulai meluntur. Ia pun mulai melirik agama Islam. Acara siraman rohani agama Islam yang ditayangkan televisi nasional mulai membetot perhatiannya.
Jalan menuju Islam akhirnya terbuka. Suatu hari, Ustaz Zakaria Fernandes, salah satu pamannya yang menjadi dai di Lautem mulai mendekati dan mengajaknya untuk masuk Islam. Yulio pun tertarik dengan ajakan sang paman. Terlebih, dengan masuk Islam, ia memiliki kesempatan untuk bersekolah di pulau Jawa.
Tekadnya untuk memeluk Islam sempat terbentur keluarga. Kedua orangtua dan sebagian keluarganya, menentang niat Yulio untuk pindah agama. Namun, halangan itu tak menyurutkan tekad bulatnya untuk menjadi seorang Muslim. Keseriusannya untuk berpindah akidah akhirnya mendapat restu dari kedua orangtuanya.
Sebelum Yulio mengucapkan dua kalimah syahadat, jumlah pemeluk Islam di kampung halamannya masih bisa dihitung jari. Ia mengaku pernah menyaksikan, perayaan Idul Fitri di kampungnya hanya diikuti tak lebih dari 20 orang. Berjudi, berdansa, meminum sopi (minuman keras), dan memakan daging babi merupakan kebiasaan non-Muslim di kampung halamannya.
Yulio akhirnya hijrah dari tanah kelahiran dan agama yang dulu dianutnya. Ia bersama Ustaz Zakaria berangkat ke kota Dili, ibu kota Timor Leste sekarang. Sebelumnya, mereka sempat singgah di kota Bau Kau. Di kota itulah, Yulio masuk Islam dan mengucap dua kalimah syahadat di depan Ustaz Zakaria.
Peristiwa penting bagi kehidupan Yulio itu terjadi pada 28 Juni 1993, beberapa saat sebelum waktu Maghrib tiba. Sejak itu, ia hanya ingin dipanggil dengan nama Muslim, karena namanya telah berubah dari Yulio da Costa Freitas menjadi Yulio Muslim da Costa.
Setelah menjadi Muslim, ia sempat bertanya kepada sang paman apa yang harus dilakukan di awal keislamannya? Sang paman pun hanya berujar singkat agar Muslim tak terbebani, ‘’Ikuti saja apa pun yang imam lakukan dalam shalat.’’
Sejak saat itu, Muslim selalu mengikuti setiap gerakan yang dilakukan imam, bahkan di saat shalat dan imam selesai dan sang imam berzikir sambil menggerak-gerakkan bibirnya. ‘’Padahal, saat itu saya tak tahu apa yang diikuti itu. Terkadang kalau mengingat kenangan itu, saya selalu menertawakan diri sendiri,’’ tuturnya sembari tersenyum.
Sebelum berangkat ke Pulau Jawa, hampir dua pekan lamanya ia tinggal di Kota Dilli. Muslim mengaku sempat gelisah karena temen-temennya dari Kabupaten Moro mulai berdatangan. Belum ada satupun yang tahu di antara mereka, kalau dirinya telah pindah keyakinan.
Untuk menutupinya, ia berusaha bersikap biasa terhadap mereka. Bahkan karena ajakan temen-temennya, ia sempat tergoda kembali untuk melakukan judi. Satu hari sebelum keberangkatan ke Pulau Jawa pun, ia masih sempat bermain judi di Pasar Bekora, sampai sedikit bekal dari keluarganya pun habis. Akhirnya Muslim pun berbohong, dan mengaku kecopetan.
Kapal Kalimutu membawanya ke Pulau Jawa. Ia lalu tinggal di salah satu Pondok Pesantren Paciran Lamongan Jawa Timur, tempat Ustaz Zakaria pernah menimba ilmu beberapa tahun yang lalu. Di Paciran, Muslim sempat menimba ilmu sambil menunggu jemputan dari Pondok Pesantren Taruna Alquran Yogyakarta pimpinan KH Umar Budihargo.
Setibanya di Pondok Pesantren Taruna Alquran Yogyakarta, Muslim mengisi hari-harinya dengan mempelajari agama Islam. Berbekal semangat tinggi, ia akhirnya mampu membaca tulisan Arab. Hanya dalam hitungan tiga pekan, Muslim sudah menamatkan buku Iqra. Setelah bisa membaca tulisan Arab, sedikit demi sedikit, ia mulai menghafal surat-surat pendek.
Ketekunannya menghafal Alquran berbuah manis. Selama di pesantren itu, ia mampu menghalaf sembilan juz Alquran. Melihat semangat Muslim yang begitu tinggi, KH Umar Budihargo mengirimnya ke salah satu pondok pesantren khusus tahfiz selama enam bulan.
Sekembalinya dari pondok tahfiz, Muslim mengikuti ujian SMP dan dia lulus dengan hasil yang memuaskan. Sering kali dalam shalat-shalat malam, Muslim menangis mensyukuri hidayah Allah. Ia juga kadang sering berdoa meminta kepada Allah agar tetap istiqamah untuk belajar agama Islam lebih mendalam lagi.
Doanya terkabul. Muslim menjadi salah satu santri yang ditunjuk untuk mengikuti tes seleksi melanjutkan studi ke kota Nabi SAW, yaitu Madinah al-Munawarah. Tanpa sengaja, Muslim sempat bertemu dan berbincang-bincang langsung dengan salah satu syekh penguji dari Madinah. Bermodalkan bahasa Arab sebisanya, Muslim memberanikan diri menceritakan sebagian dari kisah hidupnya.
Sang Syekh sangat tertarik dengan cerita kehidupan dan kemualafannya. Ulama dari Madinah itu meminta Muslim untuk membawa ijazah dan ingin mengujinya langsung. Sembari menunggu pengumuman hasil tes penerimaan dari Madihah, KH Umar Budihargo memberi amanah kepada Muslim untuk memegang pondok di Gunung Kidul, Karangmojo, Yogjakarta pada 1997.
Setahun kemudian, pengumuman hasil tes itu keluar. Ia menjadi salah seorang peserta yang terpilih untuk menimba ilmu di kota Madinah. Pada Ramadhan tahun 1999, ia sempat pulang ke Tanah Air. Ia bermaksud untuk mengajak kedua orangtua dan adik-adiknya untuk memeluk Islam.
Saat itu – pascareferendum — keluarganya sedang mengungsi di Kupang, NTT. Muslim pun bertemu dengan keluarganya, dan ia menyampaikan ajakannya itu. Namun, hidayah hanya milik Allah SWT. Saat itu, keluarganya belum merespons dakwahnya untuk memeluk Islam.
Ia akhirnya kembali ke Madinah dengan hati yang sedikit kecewa. Meski begitu, Muslim tak pernah berhenti berdoa agar keluarganya segera dibukakan pintu hatinya untuk menerima Islam. Doanya akhirnya dikabulkan. Pada 2003, keluarganya berkunjung ke Yogyakarta dan pada pertengahan tahu itu pula, kedua orangtua dan empat adiknya bersyahadat dan memeluk Islam.
Yulio Muslim da Costa tak pernah berhenti bersyukur. Hidayah Allah SWT yang menuntunnya menjadi seorang Muslim menjadi berkah bagi kehidupannya. Ia mengaku begitu besar nikmat yang diberikan Sang Khalik kepada dirinya setelah memeluk Islam. Salah satu nikmat yang dirasakannya adalah pemahaman ilmu agama Islam.
Tujuh tahun lamanya Muslim menimba ilmu di kota Rasullullah SAW. Dari 1998 hingga 2005, ia akhirnya menjadi sarjana Syariah. Ilmu itu digunakannya sebagai modal dan bekal dakwah Islam. Bahkan, sampai saat ini ia selalu aktif mengkader anak-anak dari kampungnya untuk disekolahkan di pesantren di daerah Jawa dan sekitarnya dan mengajak orang-orang untuk masuk dalam agama Islam.
Setelah menyelesaikan studinya, Muslim memilih untuk berjuang bersama orang-orang Islam di bumi pertiwi, karena orang-orang Islam Indonesia memiliki semangat juang yang tinggi. Muslim kembali ke Yogyakarta dan dipercaya KH Umar Budihargo untuk memegang Pondok Tahfiz Putra dan Taklim bahasa Arab yang berada di Gunung Sempu, Kasihan, Bantul, DIY.
Lika-liku kehidupannya yang berawal dari nol sampai sekarang telah membuatnya belajar banyak hal. Selama 13 tahun meniti hidup di kota Gudeg, ia selalu dipertemukan Allah SWT dengan kawan-kawan yang berjuang di jalan Allah.
Sampai akhirnya, dengan berniat karena Allah semata, Muslim pun berhijrah dengan mencari suasana baru di kota Bogor, tepatnya Ciawi, beserta keluarga yang selalu mendukung setiap langkah beliau sampai sekarang. Pada 2006, Muslim diberi amanah dan kepercayaan oleh Yayasan Bina Duta Madani untuk memegang Pondok Tahfiz Putra dan Studi Bahasa Arab di Pondok Pesantren Bina Madani Bogor Jawa Barat.
Pesantren ini bertujuan mencetak para hafiz yang mengamalkan dan mendakwahkan ilmunya. Muslim selalu berdoa semoga Allah senantiasa memberikan keistiqamahan dalam agama Islam, dan diberikan sebaik-baik penerus yang bermanfaat. Saat ini, ia telah dikaruniai tiga orang putera, yaitu Yasir Muslim Dacosta, Ayub Muslim Dacosta dan Saad Muslim Dacosta.
Sebelum memeluk Islam, ia bernama Yulio da Costa Freitas. Yulio terlahir dari keluarga yang amat sangat sederhana, 33 tahun silam, tepatnya 5 Januari 1977 di dusun Baruwali, Lautem, Timor-Timur. Awalnya, ia adalah seorang penganut agama Katholik yang terbilang aktif dalam aktivitas kegerejaannya.
Selain taat dengan keyakinannya, ia juga dipercaya sebagai pembantu pastor dalam setiap kegiatan rutinitas gereja, terutama dalam setiap acara misa mingguan. Seiring waktu, keimanannya mulai goyah. Setelah tiga tahun membantu pastor di gereja, Yulio mengaku sering mendengar bisikan di antara teman-temannya yang ragu akan kebenaran agama yang dipeluknya.
Terlebih, sanak saudaranya sudah banyak yang memeluk Islam. Hati Yulio pun semakin gundah. Perlahan-lahan keyakinannya terhadap agama Katholik yang dianutnya mulai meluntur. Ia pun mulai melirik agama Islam. Acara siraman rohani agama Islam yang ditayangkan televisi nasional mulai membetot perhatiannya.
Jalan menuju Islam akhirnya terbuka. Suatu hari, Ustaz Zakaria Fernandes, salah satu pamannya yang menjadi dai di Lautem mulai mendekati dan mengajaknya untuk masuk Islam. Yulio pun tertarik dengan ajakan sang paman. Terlebih, dengan masuk Islam, ia memiliki kesempatan untuk bersekolah di pulau Jawa.
Tekadnya untuk memeluk Islam sempat terbentur keluarga. Kedua orangtua dan sebagian keluarganya, menentang niat Yulio untuk pindah agama. Namun, halangan itu tak menyurutkan tekad bulatnya untuk menjadi seorang Muslim. Keseriusannya untuk berpindah akidah akhirnya mendapat restu dari kedua orangtuanya.
Sebelum Yulio mengucapkan dua kalimah syahadat, jumlah pemeluk Islam di kampung halamannya masih bisa dihitung jari. Ia mengaku pernah menyaksikan, perayaan Idul Fitri di kampungnya hanya diikuti tak lebih dari 20 orang. Berjudi, berdansa, meminum sopi (minuman keras), dan memakan daging babi merupakan kebiasaan non-Muslim di kampung halamannya.
Yulio akhirnya hijrah dari tanah kelahiran dan agama yang dulu dianutnya. Ia bersama Ustaz Zakaria berangkat ke kota Dili, ibu kota Timor Leste sekarang. Sebelumnya, mereka sempat singgah di kota Bau Kau. Di kota itulah, Yulio masuk Islam dan mengucap dua kalimah syahadat di depan Ustaz Zakaria.
Peristiwa penting bagi kehidupan Yulio itu terjadi pada 28 Juni 1993, beberapa saat sebelum waktu Maghrib tiba. Sejak itu, ia hanya ingin dipanggil dengan nama Muslim, karena namanya telah berubah dari Yulio da Costa Freitas menjadi Yulio Muslim da Costa.
Setelah menjadi Muslim, ia sempat bertanya kepada sang paman apa yang harus dilakukan di awal keislamannya? Sang paman pun hanya berujar singkat agar Muslim tak terbebani, ‘’Ikuti saja apa pun yang imam lakukan dalam shalat.’’
Sejak saat itu, Muslim selalu mengikuti setiap gerakan yang dilakukan imam, bahkan di saat shalat dan imam selesai dan sang imam berzikir sambil menggerak-gerakkan bibirnya. ‘’Padahal, saat itu saya tak tahu apa yang diikuti itu. Terkadang kalau mengingat kenangan itu, saya selalu menertawakan diri sendiri,’’ tuturnya sembari tersenyum.
Sebelum berangkat ke Pulau Jawa, hampir dua pekan lamanya ia tinggal di Kota Dilli. Muslim mengaku sempat gelisah karena temen-temennya dari Kabupaten Moro mulai berdatangan. Belum ada satupun yang tahu di antara mereka, kalau dirinya telah pindah keyakinan.
Untuk menutupinya, ia berusaha bersikap biasa terhadap mereka. Bahkan karena ajakan temen-temennya, ia sempat tergoda kembali untuk melakukan judi. Satu hari sebelum keberangkatan ke Pulau Jawa pun, ia masih sempat bermain judi di Pasar Bekora, sampai sedikit bekal dari keluarganya pun habis. Akhirnya Muslim pun berbohong, dan mengaku kecopetan.
Kapal Kalimutu membawanya ke Pulau Jawa. Ia lalu tinggal di salah satu Pondok Pesantren Paciran Lamongan Jawa Timur, tempat Ustaz Zakaria pernah menimba ilmu beberapa tahun yang lalu. Di Paciran, Muslim sempat menimba ilmu sambil menunggu jemputan dari Pondok Pesantren Taruna Alquran Yogyakarta pimpinan KH Umar Budihargo.
Setibanya di Pondok Pesantren Taruna Alquran Yogyakarta, Muslim mengisi hari-harinya dengan mempelajari agama Islam. Berbekal semangat tinggi, ia akhirnya mampu membaca tulisan Arab. Hanya dalam hitungan tiga pekan, Muslim sudah menamatkan buku Iqra. Setelah bisa membaca tulisan Arab, sedikit demi sedikit, ia mulai menghafal surat-surat pendek.
Ketekunannya menghafal Alquran berbuah manis. Selama di pesantren itu, ia mampu menghalaf sembilan juz Alquran. Melihat semangat Muslim yang begitu tinggi, KH Umar Budihargo mengirimnya ke salah satu pondok pesantren khusus tahfiz selama enam bulan.
Sekembalinya dari pondok tahfiz, Muslim mengikuti ujian SMP dan dia lulus dengan hasil yang memuaskan. Sering kali dalam shalat-shalat malam, Muslim menangis mensyukuri hidayah Allah. Ia juga kadang sering berdoa meminta kepada Allah agar tetap istiqamah untuk belajar agama Islam lebih mendalam lagi.
Doanya terkabul. Muslim menjadi salah satu santri yang ditunjuk untuk mengikuti tes seleksi melanjutkan studi ke kota Nabi SAW, yaitu Madinah al-Munawarah. Tanpa sengaja, Muslim sempat bertemu dan berbincang-bincang langsung dengan salah satu syekh penguji dari Madinah. Bermodalkan bahasa Arab sebisanya, Muslim memberanikan diri menceritakan sebagian dari kisah hidupnya.
Sang Syekh sangat tertarik dengan cerita kehidupan dan kemualafannya. Ulama dari Madinah itu meminta Muslim untuk membawa ijazah dan ingin mengujinya langsung. Sembari menunggu pengumuman hasil tes penerimaan dari Madihah, KH Umar Budihargo memberi amanah kepada Muslim untuk memegang pondok di Gunung Kidul, Karangmojo, Yogjakarta pada 1997.
Setahun kemudian, pengumuman hasil tes itu keluar. Ia menjadi salah seorang peserta yang terpilih untuk menimba ilmu di kota Madinah. Pada Ramadhan tahun 1999, ia sempat pulang ke Tanah Air. Ia bermaksud untuk mengajak kedua orangtua dan adik-adiknya untuk memeluk Islam.
Saat itu – pascareferendum — keluarganya sedang mengungsi di Kupang, NTT. Muslim pun bertemu dengan keluarganya, dan ia menyampaikan ajakannya itu. Namun, hidayah hanya milik Allah SWT. Saat itu, keluarganya belum merespons dakwahnya untuk memeluk Islam.
Ia akhirnya kembali ke Madinah dengan hati yang sedikit kecewa. Meski begitu, Muslim tak pernah berhenti berdoa agar keluarganya segera dibukakan pintu hatinya untuk menerima Islam. Doanya akhirnya dikabulkan. Pada 2003, keluarganya berkunjung ke Yogyakarta dan pada pertengahan tahu itu pula, kedua orangtua dan empat adiknya bersyahadat dan memeluk Islam.
Yulio Muslim da Costa tak pernah berhenti bersyukur. Hidayah Allah SWT yang menuntunnya menjadi seorang Muslim menjadi berkah bagi kehidupannya. Ia mengaku begitu besar nikmat yang diberikan Sang Khalik kepada dirinya setelah memeluk Islam. Salah satu nikmat yang dirasakannya adalah pemahaman ilmu agama Islam.
Tujuh tahun lamanya Muslim menimba ilmu di kota Rasullullah SAW. Dari 1998 hingga 2005, ia akhirnya menjadi sarjana Syariah. Ilmu itu digunakannya sebagai modal dan bekal dakwah Islam. Bahkan, sampai saat ini ia selalu aktif mengkader anak-anak dari kampungnya untuk disekolahkan di pesantren di daerah Jawa dan sekitarnya dan mengajak orang-orang untuk masuk dalam agama Islam.
Setelah menyelesaikan studinya, Muslim memilih untuk berjuang bersama orang-orang Islam di bumi pertiwi, karena orang-orang Islam Indonesia memiliki semangat juang yang tinggi. Muslim kembali ke Yogyakarta dan dipercaya KH Umar Budihargo untuk memegang Pondok Tahfiz Putra dan Taklim bahasa Arab yang berada di Gunung Sempu, Kasihan, Bantul, DIY.
Lika-liku kehidupannya yang berawal dari nol sampai sekarang telah membuatnya belajar banyak hal. Selama 13 tahun meniti hidup di kota Gudeg, ia selalu dipertemukan Allah SWT dengan kawan-kawan yang berjuang di jalan Allah.
Sampai akhirnya, dengan berniat karena Allah semata, Muslim pun berhijrah dengan mencari suasana baru di kota Bogor, tepatnya Ciawi, beserta keluarga yang selalu mendukung setiap langkah beliau sampai sekarang. Pada 2006, Muslim diberi amanah dan kepercayaan oleh Yayasan Bina Duta Madani untuk memegang Pondok Tahfiz Putra dan Studi Bahasa Arab di Pondok Pesantren Bina Madani Bogor Jawa Barat.
Pesantren ini bertujuan mencetak para hafiz yang mengamalkan dan mendakwahkan ilmunya. Muslim selalu berdoa semoga Allah senantiasa memberikan keistiqamahan dalam agama Islam, dan diberikan sebaik-baik penerus yang bermanfaat. Saat ini, ia telah dikaruniai tiga orang putera, yaitu Yasir Muslim Dacosta, Ayub Muslim Dacosta dan Saad Muslim Dacosta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar