Rabu, 09 April 2014

MANA DALILNYA, TATA CARA SHALAT

MANA DALILNYA ??

A : Assalamu alaikum.. Apa kabar akhi ?? Baru ketemu lagi nih..

B : Wa’alaikumus salam. Alhamdulillah baik akhi. Iya…

A : Oya, tadi ana melihat antum shalat.

B : Iya, kenapa ??

A : Ana mau tahu kenapa antum shalatnya seperti itu ??

B : Memang ada apa dengan shalat ana ?? Ada yang aneh kah ??

A : Oh tidak apa2. Hanya saja ana ingin tahu dalil dari shalat yang antum lakukan tadi. Siapa tahu ana bisa mendapat tambahan ilmu dari antum.

B : Ana sejak masih kecil shalatnya sudah seperti ini. Dan seperti inilah shalat yang dilakukan oleh kebanyakan umat Islam saat ini. Apakah ada yang salah ????

A : Jika antum telah memiliki pegangan dalil yang shahih (benar), maka tidak masalah. Karena kita diperintahkan untuk shalat seperti shalatnya Rasulullah, Beliau shalallahu alaihiwasallam bersabda, ‘Shallu kama ra’aitumuni ushalli’ (Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku [Rasulullah] shalat).

B : Iya ana tahu itu. Namun beginilah apa yang diajarkan oleh ustadz ana dulu. Jadi ana shalat sesuai dengan apa yang diajarkan oleh ustadz ana.

A : Tapi apakah yang diajarkan oleh ustadz tersebut antum tahu dalilnya ??

B : Mmm.. Ana tidak tahu dalilnya. Tapi ana yakin kalau ustadz tersebut pasti tahu dalilnya, namanya juga ustadz.

A : Kalau antum tidak tahu dalilnya, berarti selama ini shalat antum masih mengikuti shalatnya ustadz, bukan Rasulullah. Apakah Rasulullah mengatakan : ‘Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat ustadz shalat’ ?! Tidak, akan tetapi Rasulullah mengatakan, "Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku [Rasulullah] shalat"

B : Jadi seperti apa shalatnya Rasulullah ?????

A : Akhi, selama gerakan2 shalat tersebut bersumber kepada dalil2 yang shahih, maka seperti itulah shalatnya Rasulullah..

Contohnya, ana melihat antum sebelum takbiratul ihram melafadzkan niat, lalu ketika takbiratul ihram selalu menempelkan jari ke telinga kemudian memutar-mutar tangan. Apakah antum tahu dalilnya ????

B : Ana tidak tahu dalilnya. Tapi memang seperti itu yang diajarkan ustadz ana.

A : Antum juga tatkala setelah salam mengusap wajah lalu selalu bersalam salaman dengan makmum lain. Apakah antum tahu dalilnya ???

B : Tidak tahu. Ana tidak ada yang tahu dalilnya. Semuanya dari ustadz. Kalau antum mau tahu dalilnya, tanya saja ke ustadz ana.

A : Itu bukan tanggung jawab ana bertanya ke ustadz antum, tetapi itu adalah tanggung jawab antum sebagai muridnya. Antum yang seharusnya bertanya langsung ke ustadz antum agar tahu atau menunjukkan dalilnya.. Bukankah kita diperintahkan untuk tidak taqlid atau mengikuti seseorang tanpa ilmu ???

Seorang ustadz tidaklah ma’shum seperti Rasulullah, baik itu ustadz antum atau ustadz ana sendiri, karena mereka bisa saja keliru. Alhamdulillah ana sudah berusaha untuk mengetahui dalilnya dari setiap gerakan2 shalat yang ana lakukan maupun tatacara ibadah lainnya.

B : Apakah di setiap gerakan shalat ada dalilnya masing2 ???

A : Iya. Semuanya sudah ada dalilnya masing2, baik dari awal shalat seperti takbiratul ihram sampai akhir shalat yaitu salam, semuanya ada dalilnya.

B : Waaaah, darimana kita bisa mengetahui dalil2 itu semua ???

A : Dari banyak BELAJAR atau menuntut ilmu di kajian2 yang SESUAI Sunnah. Atau bisa juga dengan banyak membaca buku2 tentang shalat sesuai Sunnah, namun tetap yang lebih utama adalah belajar langsung pada para ahli ilmu.

[Beberapa bulan kemudian]

B : Assalamu alaikum.. Apa kabar akhi ??? Baru ketemu lagi nih..

C & D : Wa’alaikumus salam. Alhamdulillah baik akhi. Iya.

B : Oiya, tadi ana melihat antum shalat.

C & D : Iya, kenapa ??

B : Ana mau tahu kenapa antum shalatnya seperti itu ??

C & D : Memang ada apa dengan shalat ana ?? Ada yang aneh kah ??

B : Oh tidak apa2. Hanya saja ana ingin tahu dalil dari shalat yang antum lakukan tadi. Siapa tahu ana bisa mendapat tambahan ilmu dari antum.

[Dan seterusnya, hampir mirip dengan dialog diatas]

Alhamdulillah, dengan dialog yang bermanfaat tersebut, telah menjadikan si B mengenal Manhaj Salaf sehingga si B berusaha mencocokkan SELURUH ibadah2nya (tidak hanya shalat saja) sesuai Sunnah Nabi (dalil). Dialog tsb kita dapatkan dari seorang sohib, metode dialog seperti ini ternyata cukup efektif dipakai untuk mengenalkan manhaj Salaf ke teman2 kita yang masih awam terhadap agamanya..

Saudaraku.. Mengenai "tatacara shalat" tsb hanyalah sebagi contoh saja... Dan penulis tidak bermaksud menggurui, bukan begitu. Para ustadz, kyai, dan ahli ilmu lainnya sangatlah banyak yang lebih berkapasitas untuk mengajarkan tatacara shalat yang sesuai dalil. Yang menjadi inti disini adalah : Kita mengingatkan dan menasehatkan agar tidak taqlid pada ustadz, kyai, ulama, dlsb.. Jadi : Semua yang dikatakan dan diajarkan pada kita, maka tanyakan juga dalilnya, cari tahu juga dalilnya, dan cocokkan dulu dengan dalil... Janganlah taqlid pada siapapun dengan langsung menganggap apa yang dikatakannya sebagai kebenaran... Janganlah menjalankan ibadah dengan dalil ikut2an saja...

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaahu ta'ala berkata :

"Kalian tidak boleh taklid kepadaku, tidak boleh juga taklid kepada Malik, Syafi'i, al-Auza'i, dan ats-Tsauri, tetapi ambillah darimana mereka mengambil." (I'laamul Muwaqqi'iin, III/469)

Imam Malik rahimahullaahu ta'ala juga berkata :

"Sesungguhnya aku hanya seorang manusia, terkadang aku benar dan terkadang salah. Maka lihatlah pendapatku, setiap pendapatku yang sesuai dengan Al-Kitab (baca : al-Qur'an) dan As-Sunnah (baca : hadits) maka ambillah, dan setiap yang tidak sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah maka tinggalkanlah." (Jaami' Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlihi, I/775, no. 1435, 1436)

Islam adalah agama yang tegak diatas dalil.

Read more : http://khansa.heck.in/mana-dalilnya.xhtml

Sebagai penambah wawasan tentang bagaimana shalat yang sesuai sunnnah, bisa bibaca dsini : http://khansa.heck.in/post-title-6.xhtml

Teka - Teki Maulid Nabi

Aqiqah bayi yang baru lahir disyariatkan karena ada dalil. Makanya aqiqah memiliki adab2nya, seperti harinya, jenis hewan yang disembelih, jumlah sembelihan, yang bertanggung jawab atas aqiqah, syarat aqiqah, dsb..

Memakai sandal memiliki banyak adab atau tata cara dalam syariat, karena ada dalil, seperti memulai memakai dengan kaki kanan, melepaskan dengan kaki kiri lebih dulu, tidak boleh memakai sandal sebelah, boleh mengusap sandal ketika berwudhu, doa memakai sandal, dsb..

Meludah juga memiliki banyak adab2 yang diajarkan syariat, karena ada dalil yang mengajarkan.

Memakai pakaian juga sudah diajarkan adab2nya dalam islam. Banyak dalil tentang ini..

Cebok / istinja, buang air juga sudah diajarkan adab2nya dalam islam. Banyak dalil tentang ini..

Khitan juga memiliki banyak adab yang ada dalil2nya. Dan islam tidak lupa telah mengajarkan tentang ini..

Bekam juga memiliki banyak adab dan tata caranya, banyak dalil yang telah memberitahu tentang ini..

Ada juga adab2 pada hari raya idul fithri dan idul adha..

Semua itu ada dalilnya..

Bersetubuh dengan istri juga memiliki banyak adab dan tata caranya. Dalil tidak lupa mengajarkannya semua..

Segala sesuatu yang ada dalilnya dan telah diajarkan islam
memiliki adab2nya, seperti adab poligami, menyisir, mencium, memasak, mandi, potong kuku, mencukur bulu kemaluan, shalat gerhana, shalat khauf, puasa tasu’a dan asyura, i’tikaf, walimah, makan, minum, tidur, mimpi, menyembelih, bersiwak, mentahniq bayi, dll..

Hal ini adalah termasuk bentuk kesempurnaan agama islam..

==> Kemudian, bagaimana halnya dengan perayaan Maulid Nabi ???????

Al Masail :

1. Apakah perayaan Maulid Nabi memiliki dalil yang jelas dan shahih ??????

2. Jika memiliki dalil, maka apa saja adab-adab atau tata cara Maulid Nabi yang sudah diajarkan Islam sesuai dengan dalilnya ??????

3. Jika tidak ada dalilnya, lantas kenapa diperingati dan dirayakan ??????

4. Jika tidak ada dalilnya, apakah mungkin Rasulullah shalallahu alaihis sallam kelupaan menyampaikan kepada umatnya ??????

5. Atau apakah mungkin Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menyembunyikannya agar tidak diketahui umatnya ??????

6. Apakah mungkin masalah tentang maulid Nabi hanya diketahui oleh orang-orang setelah abad ke 4 hijriyah, sedangkan orang- orang yang sebelumnya seperti para shahabat Nabi, Tabi’in, Tabiut Tabi’in, dan juga Imam yang empat tidak mengetahui tentang perayaan Maulid Nabi ???????

7. Atau apakah mungkin orang2 setelah abad ke 4 hijriyah lebih pintar atau alim karena mereka mengetahui dan merayakan Maulid daripada para shahabat Nabi dan para ulama sebelum abad ke 4 hijriyah ??????

8. Apakah perayaan Maulid Nabi termasuk perkara yang besar atau perkara yang kecil ??????

9. Jika Maulid Nabi termasuk perkara besar, lantas mana perintah atau dalilnya yang shahih dan diakui oleh para ulama ahlu hadits ??????

10. Jika Maulid Nabi adalah perkara besar, lantas kenapa tidak ada seorangpun dari shahabat Nabi yang merayakannya ?????? Padahal mereka jauh lebih mencintai Rasulullah.

11. Jika Maulid Nabi adalah perkara kecil, lantas kenapa manusia begitu antusias dan semangat untuk merayakannya ???? Sedangkan perkara2 besar yang lain dan wajib hukumnya justru banyak yang mereka tinggalkan dan kesampingkan.

12. Apakah mungkin jika perkara2 yang kecil telah diajarkan oleh islam, sedangkan perkara2 yang besar tidak diajarkan islam ?????? Jelas tidak mungkin !! Justru perkara2 yang besar lebih diajarkan dalam islam.

13. Pantaskah Rasulullah mengajarkan tata cara memakai sendal, meludah, cebok, dsb, sedangkan perayaan Maulidnya sendiri serta adab dan tata caranya tidak beliau ajarkan kepada sahabat2nya dan umatnya yang dicintainya ??????

14. Pernahkah kita membaca riwayat bahwa Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali atau sahabat2 Nabi lainnya mengucapkan Selamat Ulang Tahun kepada Nabinya ?????

Atau mereka kumpul2 dan berpesta pada hari ‘Birthday’ Nabinya ??????

Atau mereka melakukan ritual ibadah khusus pada hari Ulang Tahun Nabinya ??????

Atau mereka saling memberikan kado atau hadiah untuk Nabinya spesial pada hari ulang tahunnya ?????

15. Apakah ada pembahasan atau bab tentang Maulid Nabi pada kitab2 ulama salaf terdahulu, seperti di kitab Al Umm Imam Syafi’i, Musnad Imam Ahmad, Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari Ibnu Hajar, Syarah Shahih Muslim an Nawawi, atau pada kitabut tis’ah ?????

Dan pembahasan Fiqih Maulid pada kitab Fiqih Bulughul Maram dan Subulus Salam, Al Mughni, Al Muhadzdzab ?????
atau pembahasan Fadhilah Maulid pada kitab Riyadhush Shalihin, Targhib wa Tarhib, Adabul Mufrad, dll ??????

Kesimpulan :

Berhubung dalil tentang keutamaan perayaan Maulid masih dalam pencarian dan penakwilan, maka diputuskan bahwa Maulid Nabi tidak ada pada zaman Rasulullah dan zaman shahabat. Adapun segala sesuatu (dalam masalah ibadah) yang tidak ada pada zaman Rasulullah dan para shahabat2nya maka itu bukan berasal dari Islam.

Sabda Beliau shallallahu alaihi wa sallaam :

“Demi Allaah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling tahu terhadap Allaah dan paling bertakwa di antara kalian.” [HR. Al-Bukhari (no. 5063) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1401) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3217) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 13122)]

Maka mengapa kita merasa kurang tercukupi dengan sunnah beliau ?????? Sehingga kita mengada-adakan ibadah yang tidak pernah beliau kerjakan ?????

Apakah kita merasa LEBIH TAHU cara untuk mendekatkan diri kepada Allah dibanding beliau ??????

Ataukah kita merasa LEBIH BERTAKWA kepada Allah dibanding beliau ?????? Sehingga kita tidak merasa cukup dengan apa yang telah dicontohkan beliau ?????

Maka tidak salah Khalifatur Rasyid ‘Ali radhiyallahu ‘anhu berkata :

“Jika disampaikan hadits kepada kalian dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka anggaplah bahwa beliau orang yang paling menggembirakan dan yang paling mendapat petunjuk serta yang paling bertakwa.” (Atsar Riwayat Ahmad)

Sehingga kita tidak mengambil petunjuk selain petunjuk beliau, sehingga kita menjadikan beliau SATU-SATUNYA uswah hasanah (teladan yang baik) dalam rangka menggapai takwa !!

Apakah ada petunjuk yang lebih baik daripada petunjuk beliau ?? Sehingga kita lebih memilihnya ketimbang memilih petunjuk beliau ???

Apakah ada teladan yang lebih baik bagi kita untuk menggapai ketakwaan daripada beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam ?????

Benarlah perkataan Ibnu Ma’sud radhiyaallhu 'anhu :

“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah (mengada2 dalam perkara ibadah). Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)

Cukuplah ini sebagai peringatan bagi orang-orang yang hanya bermodalkan semangat dalam menjalankan ibadahnya TANPA MERUJUK kepada sunnah dan tuntunan Beliau, shallalllahu ‘alayhi wa sallam. Wallaahu Ta'ala A'lam bish showaab.

Hanya Allaah yang memberi petunjuk dan hidayah

TENTANG TAHLILAN

Kamu Koq gak Ngadain Tahlilan Sih ??
Kamu Muhammadiyah Ya ??
PERSIS Ya ??
Al Irsyad Ya ??
Salafi Ya ????

Ooo... Kamu pasti Wahabi Ya ???!! Hayoooo....

Sebelum menjawab pertanyaan tsb.. Kita ajak dulu untuk menelaah SIKLUS KEHIDUPAN MANUSIA.. MULAI AWAL SAMPAAAAAIIII AHIR..

~~~~~~~~~~~~~~~~

1. Saling suka, saling cinta. Bersentuhan kepada yang bukan mahram hukumnya haram.

2. Melamar. Tidak boleh melamar seorang wanita yang sudah dipinang oleh lelaki lain.

3. Melanjutkan ke Pernikahan. Perhatikan mahar-nya, wali, saksi dan Walimatul'Ursy (Pesta perkawinan)

4. Masa Kehamilan. Adab-adab berhubungan suami Istri

5. Kelahiran dan berbagai adab-adabnya.

6. Aqiqah pada hari ke 7. Mencukur Rambut, Memberi Nama dan Memotong Hewan Aqiqah

7. Khitan

8. Mendidik anak adalah kewajiban orang tua

9. Setelah dewasa, kemudian menikah. Ada waktunya sakit. Bagaimana Adab-adab menjenguk orang sakit.

10. Meninggal Dunia. Mentalqinkan selagi hidup, Merawat jenazah, Memandikan, mengkafani dan Mensholati.

11. Dimakamkan. Perhatikan, adab-adab dan Sunnah-sunnah Nabi.

12. Lho ???? Koq gak ada perintah untuk bertahlilan ya ??? [selamatan 1,3,7,40,100,1000 kematian dst] Kalo Allah dan Rasul-Nya gak nyuruh, siapa yang nyuruh ya ????? Kalau Kiyai, Tuan Guru, Syaikh dan Habib yang nyuruh, berarti mereka lebih hebat daripada Allah dan Rasulullah dong....Nah looooo !!!!! (^_^)

13. Naaah.. Banyak-banyaklah kita membaca. Baik Al Qur'an atau Kitab-kitab Hadits serta kitab-kitab yang mu'tabar lainnya. Supaya kita mengerti dalil-dalilnya. Supaya kita gak taqlid dan gampang dibodohin orang lain. Sebab Islam mengharuskan setiap ummatnya Cerdas Individual.

14. Kalau sudah mengerti, maka janganlah melakukan amalan-amalan bid'ah. Sebab Rasulullah telah bersabda : Setiap bid'ah adalah sesat dan setiap yang sesat di neraka.
_______________

Saudaraku.. Kehidupan dan Kematian Adalah Dua Keniscayaan

Kamu Muhammadiyah Ya ?? PERSIS Ya ?? Al Irsyad Ya ?? Salafi Ya ???? Wahabi Ya ??!!!?

Kalimat itulah yang sering dilontarkan oleh mereka yang anti pati kepada mereka yang tidak melakukan Tahlilan [selamatan Kematian] apabila ada sanak keluarganya yang meninggal dunia.

Maka katakanlah kepada mereka :

وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

"Saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah Muslimun (orang-orang yang berserah diri)." [QS. Ali Imron :52]

Saudaraku.. KEMATIAN dan KELAHIRAN adalah dua keniscayaan. Satu kegembiraan dan satunya kesedihan. Dan tidak mungkin Islam tidak mengatur prosesi-prosesi yang bersangkutan dengan kedua hal tersebut, Islam telah mengaturnya dengan mencontoh Rasulullah orang yang PALING MENGERTI cara bersosialisi atau bermasyarakat. Beliau memiliki akhlakul karimah, hati yang penyayang, paling santun dan lembut hatinya. Beliau paling mengerti bagaimana cara menghibur orang dan mendo'akan orang yang KEMATIAN dan musibah lainnya. Bagimana cara bergembira bersama orang yang lagi senang, baik menyambut KELAHIRAN dan lainnya. Pada kasus kematian, Rasulullah tidak pernah mencontohkan TAHLILAN [dlm arti : Selamatan Kematian].

RASULULLAH ADALAH ORANG YANG PALING MENGERTI CARA BERSOSIALISI DAN BERMASYARAKAT

Lau Kaana Khairan Lasabaquuna ilahi

[seandainya Selamatan kematian itu baik, niscaya Rasulullah dan para sahabatnya paling bersegera melakukannya, sebab perkara apapun yang bernilai baik (hasanah) dalam rangka taqarrub kepada Allah tidak akan pernah mereka lewatkan].

Rasulullah dan para sahabat tidak melakukan selamatan kematian bukan karena Rasulullah tidak punya uang atau tidak punya waktu !!

Maka sungguh na'if bagi mereka yang berdalih untuk melakukan Selamatan kematian hanya berdasarkan pendapat bukan dalil.

Seandainyapun ada dalilnya :

MAKA ALANGKAH NAI'FNYA RASULULLAH TIDAK MENGERTI BAHWA KALAU TERNYATA ADA"DALILNYA"UNTUK MELAKUKAN TAHLILAN, PADAHAL AL QUR'AN TURUN DI SISI MEREKA DAN RASULULLAH MEMBIMBING MEREKA [PARA SAHABAT] SECARA LANGSUNG. Padahal di jaman Rasulullah para sahabat banyak yang mati syahid, bahkan ketika Istri beliau Siti Khadijah dan anak beliau Al Qasim dan Ibrahim meninggal, tidak ada keterangan Rasulullah mentahlili mereka [selamatan kematian].

Ketahuilah.. Pendapat seorang ulama bukanlah SEBUAH DALIL. Pendapat ulama, mustahil dapat mengalahkan IJMA' SAHABAT !!

Begitu Sempurnanya ajaran Islam, Mengatur Masalah Kematian dan Kelahiran :

Ketahuilah, Islam adalah ad Dien yang sempurna, sehingga tidak perlu lagi penambahan dan pengurangan syari'atnya. Apa-apa yang telah menjadi syari'at agama sejak diturunkannya QS. Al Maidah : 3, maka ia tetap menjadi syari'at sampai sekarang dan nantinya tanpa ada perubahan.

Hidup dan mati adalah dua hal yang pasti terjadi. Islam sangat mengatur bagaimana tuntunannya dalam menghadapi kedua perkara ini. Proses kelahiran diawali dengan berbagai prosesi dalam kehidupan. Kalau kita mau mendaftar urut kebelakang, niscaya secara sederhana dan singkat kita akan mendapatkan urutan-urutan sebagai berikut; [kalau ada yang kurang mohon ditambahin]

Sebelum adanya kelahiran :

a. Saling kenal antara lawan jenis, kemudian dilanjutkan dengan ta'aruf, meminang, dan proses selanjutnya jenjang pernikahan.

b. Islam sebagai sebuah agama, telah mengatur hal-hal tersebut dengan sedemikian jelas, karena Islam datang untuk mempermudah bukan untuk mempersulit. Dalam prosesi perkenalan/ta'aruf, Islam sudah mengajarkan etika-etikanya. Melarang dua insan yang berbeda jenis kelamin untuk berdua-duaan ditempat yang tersembunyi dan terang-terangan tanpa ada mahramnya. Islam melarang ikhtilat, melarang bersalam-salaman (musafahah) apalagi cipika-cipiki kepada seseorang yang bukan mahramnya.

c. Dalam hal meminangpun sudah diatur dalam syariat Islam. Tidak boleh meminang seseorang yang sudah dipinang oleh orang lain.

d. Menjelang pernikahan, uang mahar dan hingga pesta pernikahan (walimatul ursy), juga telah diatur kaifiyatnya dalam syari'at Islam.

e. Setelah pernikahan yang sah secara syar'i, terjadilah kontak pisik antara dua lawan jenis tadi, yang selanjutnya terjadi kehamilan. Dalam proses sebelum kehamilan, Islam telah mengatur adab-adab dalam bersenggama, bercumbu dan do'a apa saja yang mesti harus dibaca.

f. Pada masa kehamilanpun telah diatur adab-adabnya oleh syariat Islam.

Setelah adanya kelahiran :

a. Adanya prosesi aqiqah pada hari ke tujuh, di dalamnya terkandung pemberian nama, pencukuran dan penyembelihan hewan aqiqah.

b. Setelah dewasa anak dididik, diberi nafkah yang layak dan tidak lupa dikhitan.

c. Selanjutnya sang anak menjadi dewasa, dan pasti melewati fase-fase sebelum kelahiran di atas, karena sudah merupakan sunnatullah.

d. Setelah siap berumah tangga, sang anak kemudian di nikahkan, dengan syarat-syarat yang telah diatur oleh Islam, tentunya atas izin dari sang anak atau walinya, adaNya wali nikah, dll.

Selanjutnya, siklus selalu berputar mengikuti sunatullah. Dan endingnya adalah kematian.

Sebelum datang kematian biasanya ada gejala sakit tetapi ada juga yang tiba-tiba, karena kematian adalah urusannya Allah.

a. Bagi yang sakit, hendaklah kita do'akan kesembuhannya dan semoga diberi kesabaran. Islam telah mengatur adab-adab orang sakit dan menjenguk orang sakit.

b. Apabila ajal menjemput, maka tuntunlah talkin sebelum nafas lepas dari kerongkongan, jadi bukan setelah nyawa/ruh berpisah dari tubuh.

c. Perlakukan manyit dengan adab-adab pengaturan jenazah.

d... Dimandikan, dikafani, disholati, dikuburkan...dst.

f.... Lho kok gak ada tuntunan dari Rasulullah untuk TAHLILAN (selamatan kematian) ??? Nah Lhooooo ?????

________________________________

Mencoba menyampaikan dengan bahasa yang sederhana. Mohon ma'af masih belum sempurna, yang tentunya masih butuh penambahan dan perbaikan..

Mohon masukan dari ikhwan dan akhwat sekalian, jika ada hal-hal yang salah dan masih kurang.. Hanya Allaah yang memberi petunjuk dan hidayah..

Semoga bermanfaat.

Read more : http://khansa.heck.in/kamu-kok-gak-tahlilan-kamu-wahhabi-ya.xhtml

Lafazh Niat Usholi tidak ada dasarnya dari Imam 4 Madzhab




Adalah hal yang sudah masyur di negri kita ini bahwa niat ketika hendak mengamalkan suatu ibadah se-akan2 disunnahkan bahkan harus dilafazhkan. Namun sayang sekali para penggagas lafazh niat ibadah tsb tidak pernah menyentuh aka dan dasar akan lafazh niat itu sendiri, hingga menimbulkan dan menyisakan kebingungan di tengah2 ummat.

Sebenrnya, dari mana sih asalnya tatacara melafalkan niat ??

Harus kita pahami bersama, bahwa munculnya anjuran melafalkan niat ketika beribadah, adalah berawal dari kesalah-pahaman terhadap pernyataan Imam As-Syafi’i terkait tata cara shalat.

Imam As-Syafi’i pernah menjelaskan :

الصَّلَاةِ لَا تَصِحُّ إلَّا بِالنُّطْقِ

“….shalat itu tidak sah kecuali dengan an-nuthq.” (Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 3:277).

An nuthq artinya berbicara atau mengucapkan. Sebagian Syafi’iyah memaknai an nuthq di sini dengan melafalkan niat. Padahal ini adalah salah paham terhadap maksud beliau rahimahullah.

Dijelaskan sendiri oleh An Nawawi bahwa yang dimaksud dengan an nuthq di sini bukanlah mengeraskan bacaan niat. Namun maksudnya adalah mengucapkan takbiratul ihram.

An-Nawawi rahimahullaah mengatakan :

قَالَ أَصْحَابُنَا غَلِطَ هَذَا الْقَائِلُ وَلَيْسَ مُرَادُ الشَّافِعِيِّ بِالنُّطْقِ فِي الصَّلَاةِ هَذَا بَلْ مُرَادُهُ التَّكْبِيرُ

“Ulama kami (syafi’iyah) mengatakan, ‘Orang yang memaknai demikian adalah keliru. Yang dimaksud As Syafi’i dengan an nuthq ketika shalat bukanlah melafalkan niat namun maksud beliau adalah takbiratul ihram’.” (Al Majmu’, 3:277)

Bahkan, kesalahpahaman ini juga dibantah oleh Abul Hasan Al Mawardi As Syafi’i, beliau rahimaullaah mengatakan :
.
فَتَأَوَّلَ ذَلِكَ – الزُّبَيْرِيُّ – عَلَى وُجُوبِ النُّطْقِ فِي النِّيَّةِ ، وَهَذَا فَاسِدٌ ، وَإِنَّمَا أَرَادَ وُجُوبَ النُّطْق بِالتَّكْبِيرِ
.
“Az Zubairi telah salah dalam menakwil ucapan Imam Syafi’i dengan wajibnya mengucapkan niat ketika shalat. Ini adalah takwil yang salah, yang dimaksudkan wajibnya mengucapkan adalah ketika ketika takbiratul ihram.” (Al-Hawi Al-Kabir, 2:204)

Nah.. Karena kesalah-pahaman inilah, banyak kiyai yang mengklaim bermadzhab syaafi'iyyah di tempat kita yang mengajarkan lafal niat ketika shalat.. Selanjutnya masyarakat memahami bahwa itu juga berlaku untuk semua amal ibadah. Sehingga muncullah (baca : diciptakanlah) lafal2 niat ibadah lainnya, semisal niat wudhu, niat tayamum, niat mandi besar, niat puasa, niat zakat, niat sedekah, dlsb..

Sayangnya.. Pak kiyai tidak mengajarkan lafal niat untuk semua bentuk ibadah. Di saat itulah, banyak masyarakat yang kebingungan, bagaimana cara niat ibadah yang belum dia hafal atau belum ia tahu lafalnya (??)

Bayangkan.. Jika memang niat dalam ibadah harus dilafalkan, maka betapa sangat buuuanyakk lafal2 ibadah lainnya yang harus diciptakan redaksinya kemudian harus dihafalkan dan dilafalkan.. Dan siapa pula yang berhak dan mempunyai wewenang dalam menciptakan lafadz niat ibadah tsb ???????

Sebagai contoh, sekarang coba kita tanya :

- Bagimanakah lafadz niat ziarah kubur ???
- Bagaimana juga niat baca Al Qur'an ???
- Bagaimana niat menguburkan jenazah ???
- Bagaimana niat mengunjungi orang sakit ???
- Dan masih sangat buanyaaaak ibadah2 lainnya..

Ada yang tahu lafadz niat ibadah2 tsb ??

Oopz, mungkin pertanyaan yang lebih tepat adalah :

- Apakah lafadz niat ibadah2 tsb sudah diciptakan atau belum ?????

- Kalo sudah, maka bagaimana redaksinya dan siapa penciptanya ?????

- Kalo belum, maka bagaimana kita mau beribadah kalo belum tau bagaimana lafadz niatnya ??? (jika memang niat ibadah harus dilafalkan).

Hal ini tentu perlu direnungkan dan dikaji mendalam, bukan disikapi dengan emosi.

Dari sini saja sudah sangat gamblang bahwa ritual melafalkan niat yang diajarkan sebagian dai sangatlah rancu, selain tak ada tuntunannya dalam syari'at, juga telah menjadi sebab timbulnya keraguan bagi masyarakat dalam kehidupan beragamanya. Padahal ragam ibadah dalam Islam sangat banyak. Tentu saja, masyarakat akan kerepotan jika harus menghafal semua lafal niat tersebut. Padahal bukankah Islam adalah agama yang sangat mudah ??? Jika demikian (sekali lagi), melafalkan niat adalah bukan bagian dari syariat Islam.

Bahkan sampai ada yang mengajukan pertanyaan yang cukup aneh :

Bagaimana lafal niat sahur yang benar ??

Meskipun pertanyaan ini bukan main-main, namun kita sempat terheran ketika ada orang yang sampai kebingungan dengan niat sahur. Bukankah ketika orang itu makan menjelang subuh, dalam rangka berpuasa di siang harinya, bisa dipastikan dia sudah berniat sahur ??

Lagi-lagi, menetapkan amal yang tidak disyariatkan, pasti akan memberikan dampak yang lebih buruk dari pada manfaat yang didapatkan !!

Saudaraku, niat itu bukan amalan anggota tubuh, oleh karena itu melafadzkan niat hanyalah perkara mengada2 dalam agama. Samasekali tidak disunnahkan jika hendak melaksanakan suatu ibadah untuk mengucapkan lafazh2 semisal :

اللَّهُمَّ نَوَيْتُ كَذَا أَوْ أَرَدْتُ كَذَا

“ Ya Allah tuhanku, aku berniat untuk …” atau “ aku bermaksud untuk… ”, baik secara jahr (keras) maupun sirr (pelan), karena hal ini tidak pernah dinukilkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Allah mengetahui apa yang ada dalam qalbu setiap orang. Maka kita tidak perlu mengucapkan niat kita karena niat itu bukan dzikir sehingga (harus) diucapkan dengan lisan. Dia hanyalah suatu niat yang tempatnya di hati.

Lantas, bagaimana dengan sebagian saudara kita yang "berqiyas" dengan ibadah haji yang menurut anggapan mereka disunnahkan melafalkan niat dalan ibadah haji ????

Saudaraku, tidak ada perbedaan dalam hal ini antara ibadah haji dengan ibadah2 yang lainnya. Bahkan dalam ibadah haji pun seseorang tidak disunnahkan untuk mengucapkan lafazh2 semisal :

اللَّهُمَّ إِنِّيْ نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ أَوْ نَوَيْتُ الْحَجَّ

“ Ya Allaah, aku berniat untuk umrah atau aku berniat untuk haji..”

Namun, yang kita ucapkan dalam ibadah haji adalah talbiyah sesuai dengan ibadah yang sedang atau akan kita amalkan, yakni ibadah haji, dan talbiyah bukanlah merupakan pengkabaran niat karena talbiyah mengandung jawaban terhadap panggilan Allaah. Maka talbiyah itu sendiri merupakan dzikir dan bukan pengkabaran tentang apa yang diniatkan di dalam hati. Oleh karena itu seseorang mengucapkan :

لَبَّيْكَ عُمْرَةً أَوْ لَبَّيْكَ حَجًّا

“(Ya Allah), aku memenuhi panggilan-Mu untuk menunaikan umrah” atau “(Ya Allah) aku memenuhi panggilan-Mu untuk menunaikan haji..”

Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkata dalam Ijabatus Sail (hal. 27) :

“ Melafadzkan niat merupakan bid’ah . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

قُلْ أَتُعَلِّمُوْنَ اللهَ بِدِيْنِكُمْ

“ Katakanlah (wahai Nabi), apakah kalian hendak mengajari Allah tentang agama (amalan) kalian ? ” (Al-Hujurat: 16)

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari a’rabi (seorang Arab dusun) yang tidak benar cara shalatnya dengan sabdanya :

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ


Jika kamu bangkit (berdiri) untuk shalat maka bertakbirlah (yakni takbiratul ihram, pen) .” (Muttafaqun ‘alaih dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Jadi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan kepadanya : “Ucapkanlah : Aku berniat untuk…”ataupun lafazh2 niat lainnya..

Dan niat itu tempatnya bukan di lisan, tapi di hati, berdasarkan hadits :

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“ Sesungguhnya amalan-amalan itu dikerjakan dengan niat .” (Muttafaqun ‘alaih, dari shahabat ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu)

Maka merupakan suatu kekeliruan jika dikatakan bahwa dalam kitab Al-Umm (perkataan Imaam Syaafi'iy) ada penyebutan melafadzkan niat. Tidak pernah Imaam Syaafi'iy melafadzkan niat sholat ataupun niat2 ibadah lainnya, apalagi sampai mengajarkan untuk melafalzfzhkan niat.

Bahkan, siapapun ulama sepakat dengan hal ini, yakni bahwa niat adalah amal hati, dan bukan amal lisan.

Imam An-Nawawi mengatakan :

النية في جميع العبادات معتبرة بالقلب ولا يكفي فيها نطق اللسان مع غفلة القلب ولا يشترط

“Niat dalam semua ibadah yang dinilai adalah hati, dan tidak cukup dengan ucapan lisan sementara hatinya tidak sadar. Dan tidak disyaratkan dilafalkan,…” (Raudhah at-Thalibin, 1:84)

Dalam kitab yang sama, beliau juga menegaskan :

لا يصح الصوم إلا بالنية ومحلها القلب ولا يشترط النطق بلا خلاف

“Tidak sah puasa kecuali dengan niat, dan tempatnya adalah hati. Dan tidak disyaratkan harus diucapkan, tanpa ada perselisihan ulama…” (Raudhah at-Thalibin, 1:268)

Dalam I’anatut Thalibin–salah satu kitab rujukan bagi syafiiyah di Indonesia–, Imam Abu Bakr ad-Dimyathi As-Syafii juga menegaskan :

أن النية في القلب لا باللفظ، فتكلف اللفظ أمر لا يحتاج إليه

“Sesungguhnya niat itu di hati bukan dengan diucapkan. Memaksakan diri dengan mengucapkan niat, termasuk perbuatan yang tidak butuh dilakukan.” (I’anatut Thalibin, 1:65)

Tentu saja keterangan para ulama dalam hal ini sangat banyak. Semoga 3 keterangan dari ulama syafiiyah di atas sudah bisa mewakili.

Mengingat niat tempatnya di hati, maka memindahkan niat ini ke lisan berarti memindahkan amal ibadah bukan pada tempatnya. Dan tentu saja, ini bukan cara yang benar dalam beribadah !!

Dan, mengingat niat adalah amal hati, maka inti niat adalah keinginan. Ketika Anda menginginkan untuk melakukan seuatu, maka Anda sudah dianggap berniat. Baik amal ibadah maupun selain ibadah. Ketika Anda ingin makan, kemudian Anda mengambil makanan sampai Anda memakannya, maka Anda sudah dianggap niat makan.

Demikian halnya ketika Anda hendak shalat dzuhur, Anda mengambil wudhu kemudian berangkat ke masjid di siang hari yang panas, sampai Anda melaksanakan shalat, tentu Anda sudah dianggap berniat.

Artinya.. Modal utama niat adalah kesadaran. Ketika Anda sadar dengan apa yang akan Anda kerjakan, kemudian Anda berkeinginan untuk mengamalkannya maka Anda sudah dianggap berniat. Ketika Anda sadar bahwa besok Ramadhan (misalnya), kemudian Anda bertekad besok akan puasa maka Anda sudah dianggap berniat. Apalagi jika malam harinya Anda taraweh dan makan sahur. Tentu ibadah semacam ini tidak mungkin Anda lakukan, kecuali karena Anda sadar bahwa esok pagi Anda akan berpuasa Ramadhan.. Itulah niat !!
________

Dengan demikian.. Ritual melafadzkan niat ini tidak ada asalnya sama sekali dalam Islam, baik dari kitab-kitab hadits maupun sumber shahih lainnya, bahkan termasuk kebid’ahan dalam agama yang sekalipun manusia menganggapnya sebagai kebaikan. Karena melafadzkan niat seperti itu tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan sebagainya.

Bahkan kata Imam Ibnu Abil Izz al-Hanafi rahimahullah :

“Tak seorangpun dari imam yang empat, baik Imam Syafi’i rahimahullah maupun lainnya yang mensyaratkan harus melafadzkan niat, karena niat itu di dalam hati dengan kesepakatan mereka”[Al-Ittiba’ hlm. 62, tahqiq Muhammad Atho’ullah Hanif dan Dr. Ashim al-Qoryuthi].

Semoga Allaah beri kepahaman, dan hanya pada Allaah kita mohon petunjuk dan bimbingan.

Wallahu Ta'ala A'lam Bish-showaab..

Selasa, 08 April 2014

Dakwah itu Seharusnya dengan Lembut dan Hikmah, tapi Terkadang juga Harus dengan Tegas

Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman :

ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِالْحَسَنَةِ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS An Nahl: 125)

Dan juga Allah subhânahu wa ta’âlâ berfirman kepada Nabi-Nya :

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan lari dari kamu.” (QS Âli ‘Imrân: 159)

Dan dalam hadits ‘A’isyah radhiyallâhu ‘anhau yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alahi wa ‘alâ âlihi wasallam bersabda :

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِيْ شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

“Sesungguhnya tidaklah lemah lembut itu berada pada sesuatu apapun kecuali akan menghiasinya dan tidaklah dicabut dari sesuatu kecuali akan membuatnya jelek.”

HIKMAH dalam melakukan dakwah dan amar ma'ruf nahi munkar sangatlah dituntut keberadaannya, lantas apakah yang dimaksud dengan hikmah ???

HIKMAH ialah KEBENARAN atau KESESUAIAN dalam segala perkataan dan perbuatan serta MELETAKKAN SEGALA SESUATU PADA TEMPATNYA. [Muqawwimaat ad-Daa'iyyatin Naajih fii Dhau-il Kitaab was Sunnah, hlm. 34, Syaikh Dr. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani]

Inilah asalnya dalam dakwah, lemah lembut, TETAPI kadang seseorang itu juga HARUS diberi pelajaran yang bersifat yang tegas, sebagaimana Nabi shallallâhu ‘alahi wa ‘alâ âlihi wasallam ketika melihat para sahabat berwudhu’ dan mereka tidak mencuci kaki-kaki mereka, BELIAU BERTERIAK dengan SUARA YANG TINGGI DAN KERAS, kata Beliau :

وَيْلُ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ ثَلاَثَ مَرَّات

“Celakalah bagi tumit-tumit dari api neraka,” Beliau ucapkan tiga kali.

Maka asalnya dalam dakwah adalah dengan lemah-lembut, namun terkadang JIKA dibutuhkan, juga harus bersikap tegas.

Tabiat manusia ada yang tidak bisa mendapat nasihat kecuali dengan lemah-lembut, dan ada pula yang bisa mendapatkan nasihat kalau ditegasi. Maka ini perlu pertimbangan yang tepat.

Taken from : http://khansa.heck.in/lembut-dan-tegas-dalam-dakwah-2.xhtml

""""""""""""""

Tambahan dari Admin membedah bid'ah "facebook":

Saudaraku, dakwah adalah seni menyampaikan. Jika ia berkesan, maka akan membekas, dan diam-diam mengubahnya, lalu hidayah turun ke lembah hatinya yang lembut.

Namun, jika hati masih terlalu keras, jika dinding keangkuhan itu masih terlalu pongkah, maka biarkanlah !! Biarkanlah Allah azza wa jalla yang Maha gagah yang akan membimbingnya, karena hanya Dia lah yang mampu melembutkan hati manusia hingga ia tergugah.. Kewajiban kita hanya menyampaikan, berdakwah dengan hikmah dan akhlakul kariimah, serta jangan lupa selalu berdo'a agar kita semua mendapat hidayah.

Fiqh Hukum dan Fiqh Dakwah

Fiqh Hukum dan Fiqh Dakwah


Dalam Islam, ada yang namanya fiqh hukum dan ada fiqh dakwah, pendekatan keduanya berbeda satu sama lain..
Fiqh hukum itu hitam-putih, bila terkait benda maka halal atau haram, bila terkait amal maka ia bisa wajib, sunnah, mubah, makruh, haram.
Lain lagi dengan fiqh dakwah, dia lebih fleksibel karena mengajak manusia menuju kebaikan, ada proses dan perlu waktu.
Keduanya, walaupun beda, baik pendekatan fiqh maupun dakwah, tapi sama-sama harus dilandaskan pada dalil.
Misal :
Ketika ada seorang Muslimah bertanya :
"Apa hukumnya melepas hijab karena pekerjaan ??"
Maka pendekatan fiqh dan dakwah berbeda, secara pendekatan fiqh, jawabannya jelas "haram" bagi wanita tidak berhiijab, namun pendekatan dakwahnya diajak pelan-pelan untuk paham, secara dakwah bisa kita sampaikan dengan memberi penjelasan :
"Yakinlah bahwa rezeki adalah dari Allaah, bukan dari boss"
"Yakinlah Allaah pasti membantu hambanya yang taat"
Intinya, pendekatan secara dakwah intinya menguatkan, memotivasi, dan memberikan harapan, agar yang didakwahi paham dan tak lari dari dakwah.
Tapi, bagaimanapun juga tidak boleh bagi kita melegitimasi kesalahannya, misalnya dengan alasan itu adalah bagian dari fiqh dakwah, apalagi memberikan kalimat bercabang sehingga membuat bias hukum suatu hal, dengan dalih dilakukan untuk menyampaikan dakwah.
Contoh lagi yang agak rumit, misal ada yang berkata :
"Saya mau ikut kajian sunnah, tapi saya masih pacaran, masih suka main musik, masih suka isbal, selalu cukur jenggot, hijab belum syar'iy (bagi wanita), juga masih suka ikutan amalkan bid'ah, dlsb.. Boleh nggak ???"
Untuk menjawabnya harus hati-hati, jangan sampai jawaban kita menjadi legitimasi kesalahannya, kita tak bisa menjawab :
"Ah nggak papa, ikut aja dulu.."
Mungkin maksud jawaban baik, yakni memotivasi agar ikut kajian, tapi kata "gak papa.." bisa jadi akan terpahami sebagai pembolehan kesalahan2 tsb.. Maka akan lebih selamat jika kita juga jelaskan haramnya pacaran, haramnya isbal, larangan bid'ah, dst, sambil tetap mengajaknya ikut kajian dengan bijak dan santun. Itu baru fiqh hukum dan fiqh dakwah yang benar dan seimbang.
Jadi, saat ditanya "Apa hukum membuka hijab bagi wanita, ikut amalkan bid'ah, cukur habis jenggot, dst.. (??)"
Jawabannya harus tegas "ya haram", tidak boleh dibiaskan, berbahaya itu. Apalagi menjawab dengan kalimat multi intepretasi, misalnya dengan kalimat :
"Hijab itu kan pilihan, mau amalkan apa aja juga pilihan, seperti iman atau kafir itu pilihan"
Waaah, ini membingungkan ummat, Islam memang tak memaksa, dan bahkan memberi pilihan untuk jadi Muslim atau tidak, tapi bila sudah Muslim, maka ya harus mau terikat syari'at.
Analogi sederhananya gini :
"Saya tidak memaksa anda masuk rumah saya, tapi bila anda sudah memilih masuk, ya harus ikut aturan saya"
Mungkin ada sebagian yang bersanggah :
"Lho, kok terkesannya agak maksa harus ngikut dan nurut sama jawaban ya ??!"
Saudaraku, ini bukan tentang jawaban atau pendapat yang dipaksakan, tapi jika memang sudah Muslim, maka kita (mau/gak mau) wajib ikut aturan Islam.
Karena itulah dahulu selepas Rasullullah shallallaahu alaihi wa sallaam wafat, ketika itu ada kaum yang menolak laksanakan kewajiban zakat, maka khalifah Abu Bakr radhiyallaahu anhu nan lembut pun memerangi mereka !!
Disini apa bisa dikatakan bahwa beliau radhiyallaahu anhu telah memaksakan kehendak ??? Tentu tidak demikian.
Dalam Islam semua jelas dan memang harus jelas, kalo tak boleh ya harus dikatakan tak boleh, haram katakan haram, dst..
Adapun cara penyampaian, bisa banyak gayanya, ada yang dengan menyentuh logika, ada yang menyentuh emosional, sah-sah saja, namun hukum fiqhnya harus tetap disampaikan dan disimpulkan dengan jelas, dan dipungkasi dengan dalil yang jelas pula.
Jangan sampai kita mengubah status hukum karena ingin manusia ridha dengan ucapan kita, lalu menyesatkan banyak manusia.
Santun dalam penyampaian, halus tutur bahasa dan pembawaan, insyaa Allaah akan memikat bagi mereka yang menginginkan kebaikan.
Hanya pada Allaah kita bermohon petunjuk dan bimbingan.