Fiqh Hukum dan Fiqh Dakwah
Dalam Islam, ada yang namanya fiqh hukum dan ada fiqh dakwah, pendekatan keduanya berbeda satu sama lain..
Fiqh hukum itu hitam-putih, bila terkait benda maka halal atau haram, bila terkait amal maka ia bisa wajib, sunnah, mubah, makruh, haram.
Lain lagi dengan fiqh dakwah, dia lebih fleksibel karena mengajak manusia menuju kebaikan, ada proses dan perlu waktu.
Keduanya, walaupun beda, baik pendekatan fiqh maupun dakwah, tapi sama-sama harus dilandaskan pada dalil.
Misal :
Ketika ada seorang Muslimah bertanya :
"Apa hukumnya melepas hijab karena pekerjaan ??"
Maka pendekatan fiqh dan dakwah berbeda, secara pendekatan fiqh, jawabannya jelas "haram" bagi wanita tidak berhiijab, namun pendekatan dakwahnya diajak pelan-pelan untuk paham, secara dakwah bisa kita sampaikan dengan memberi penjelasan :
"Yakinlah bahwa rezeki adalah dari Allaah, bukan dari boss"
"Yakinlah Allaah pasti membantu hambanya yang taat"
Intinya, pendekatan secara dakwah intinya menguatkan, memotivasi, dan memberikan harapan, agar yang didakwahi paham dan tak lari dari dakwah.
Tapi, bagaimanapun juga tidak boleh bagi kita melegitimasi kesalahannya, misalnya dengan alasan itu adalah bagian dari fiqh dakwah, apalagi memberikan kalimat bercabang sehingga membuat bias hukum suatu hal, dengan dalih dilakukan untuk menyampaikan dakwah.
Contoh lagi yang agak rumit, misal ada yang berkata :
"Saya mau ikut kajian sunnah, tapi saya masih pacaran, masih suka main musik, masih suka isbal, selalu cukur jenggot, hijab belum syar'iy (bagi wanita), juga masih suka ikutan amalkan bid'ah, dlsb.. Boleh nggak ???"
Untuk menjawabnya harus hati-hati, jangan sampai jawaban kita menjadi legitimasi kesalahannya, kita tak bisa menjawab :
"Ah nggak papa, ikut aja dulu.."
Mungkin maksud jawaban baik, yakni memotivasi agar ikut kajian, tapi kata "gak papa.." bisa jadi akan terpahami sebagai pembolehan kesalahan2 tsb.. Maka akan lebih selamat jika kita juga jelaskan haramnya pacaran, haramnya isbal, larangan bid'ah, dst, sambil tetap mengajaknya ikut kajian dengan bijak dan santun. Itu baru fiqh hukum dan fiqh dakwah yang benar dan seimbang.
Jadi, saat ditanya "Apa hukum membuka hijab bagi wanita, ikut amalkan bid'ah, cukur habis jenggot, dst.. (??)"
Jawabannya harus tegas "ya haram", tidak boleh dibiaskan, berbahaya itu. Apalagi menjawab dengan kalimat multi intepretasi, misalnya dengan kalimat :
"Hijab itu kan pilihan, mau amalkan apa aja juga pilihan, seperti iman atau kafir itu pilihan"
Waaah, ini membingungkan ummat, Islam memang tak memaksa, dan bahkan memberi pilihan untuk jadi Muslim atau tidak, tapi bila sudah Muslim, maka ya harus mau terikat syari'at.
Analogi sederhananya gini :
"Saya tidak memaksa anda masuk rumah saya, tapi bila anda sudah memilih masuk, ya harus ikut aturan saya"
Mungkin ada sebagian yang bersanggah :
"Lho, kok terkesannya agak maksa harus ngikut dan nurut sama jawaban ya ??!"
Saudaraku, ini bukan tentang jawaban atau pendapat yang dipaksakan, tapi jika memang sudah Muslim, maka kita (mau/gak mau) wajib ikut aturan Islam.
Karena itulah dahulu selepas Rasullullah shallallaahu alaihi wa sallaam wafat, ketika itu ada kaum yang menolak laksanakan kewajiban zakat, maka khalifah Abu Bakr radhiyallaahu anhu nan lembut pun memerangi mereka !!
Disini apa bisa dikatakan bahwa beliau radhiyallaahu anhu telah memaksakan kehendak ??? Tentu tidak demikian.
Dalam Islam semua jelas dan memang harus jelas, kalo tak boleh ya harus dikatakan tak boleh, haram katakan haram, dst..
Adapun cara penyampaian, bisa banyak gayanya, ada yang dengan menyentuh logika, ada yang menyentuh emosional, sah-sah saja, namun hukum fiqhnya harus tetap disampaikan dan disimpulkan dengan jelas, dan dipungkasi dengan dalil yang jelas pula.
Jangan sampai kita mengubah status hukum karena ingin manusia ridha dengan ucapan kita, lalu menyesatkan banyak manusia.
Santun dalam penyampaian, halus tutur bahasa dan pembawaan, insyaa Allaah akan memikat bagi mereka yang menginginkan kebaikan.
Hanya pada Allaah kita bermohon petunjuk dan bimbingan.
Dalam Islam, ada yang namanya fiqh hukum dan ada fiqh dakwah, pendekatan keduanya berbeda satu sama lain..
Fiqh hukum itu hitam-putih, bila terkait benda maka halal atau haram, bila terkait amal maka ia bisa wajib, sunnah, mubah, makruh, haram.
Lain lagi dengan fiqh dakwah, dia lebih fleksibel karena mengajak manusia menuju kebaikan, ada proses dan perlu waktu.
Keduanya, walaupun beda, baik pendekatan fiqh maupun dakwah, tapi sama-sama harus dilandaskan pada dalil.
Misal :
Ketika ada seorang Muslimah bertanya :
"Apa hukumnya melepas hijab karena pekerjaan ??"
Maka pendekatan fiqh dan dakwah berbeda, secara pendekatan fiqh, jawabannya jelas "haram" bagi wanita tidak berhiijab, namun pendekatan dakwahnya diajak pelan-pelan untuk paham, secara dakwah bisa kita sampaikan dengan memberi penjelasan :
"Yakinlah bahwa rezeki adalah dari Allaah, bukan dari boss"
"Yakinlah Allaah pasti membantu hambanya yang taat"
Intinya, pendekatan secara dakwah intinya menguatkan, memotivasi, dan memberikan harapan, agar yang didakwahi paham dan tak lari dari dakwah.
Tapi, bagaimanapun juga tidak boleh bagi kita melegitimasi kesalahannya, misalnya dengan alasan itu adalah bagian dari fiqh dakwah, apalagi memberikan kalimat bercabang sehingga membuat bias hukum suatu hal, dengan dalih dilakukan untuk menyampaikan dakwah.
Contoh lagi yang agak rumit, misal ada yang berkata :
"Saya mau ikut kajian sunnah, tapi saya masih pacaran, masih suka main musik, masih suka isbal, selalu cukur jenggot, hijab belum syar'iy (bagi wanita), juga masih suka ikutan amalkan bid'ah, dlsb.. Boleh nggak ???"
Untuk menjawabnya harus hati-hati, jangan sampai jawaban kita menjadi legitimasi kesalahannya, kita tak bisa menjawab :
"Ah nggak papa, ikut aja dulu.."
Mungkin maksud jawaban baik, yakni memotivasi agar ikut kajian, tapi kata "gak papa.." bisa jadi akan terpahami sebagai pembolehan kesalahan2 tsb.. Maka akan lebih selamat jika kita juga jelaskan haramnya pacaran, haramnya isbal, larangan bid'ah, dst, sambil tetap mengajaknya ikut kajian dengan bijak dan santun. Itu baru fiqh hukum dan fiqh dakwah yang benar dan seimbang.
Jadi, saat ditanya "Apa hukum membuka hijab bagi wanita, ikut amalkan bid'ah, cukur habis jenggot, dst.. (??)"
Jawabannya harus tegas "ya haram", tidak boleh dibiaskan, berbahaya itu. Apalagi menjawab dengan kalimat multi intepretasi, misalnya dengan kalimat :
"Hijab itu kan pilihan, mau amalkan apa aja juga pilihan, seperti iman atau kafir itu pilihan"
Waaah, ini membingungkan ummat, Islam memang tak memaksa, dan bahkan memberi pilihan untuk jadi Muslim atau tidak, tapi bila sudah Muslim, maka ya harus mau terikat syari'at.
Analogi sederhananya gini :
"Saya tidak memaksa anda masuk rumah saya, tapi bila anda sudah memilih masuk, ya harus ikut aturan saya"
Mungkin ada sebagian yang bersanggah :
"Lho, kok terkesannya agak maksa harus ngikut dan nurut sama jawaban ya ??!"
Saudaraku, ini bukan tentang jawaban atau pendapat yang dipaksakan, tapi jika memang sudah Muslim, maka kita (mau/gak mau) wajib ikut aturan Islam.
Karena itulah dahulu selepas Rasullullah shallallaahu alaihi wa sallaam wafat, ketika itu ada kaum yang menolak laksanakan kewajiban zakat, maka khalifah Abu Bakr radhiyallaahu anhu nan lembut pun memerangi mereka !!
Disini apa bisa dikatakan bahwa beliau radhiyallaahu anhu telah memaksakan kehendak ??? Tentu tidak demikian.
Dalam Islam semua jelas dan memang harus jelas, kalo tak boleh ya harus dikatakan tak boleh, haram katakan haram, dst..
Adapun cara penyampaian, bisa banyak gayanya, ada yang dengan menyentuh logika, ada yang menyentuh emosional, sah-sah saja, namun hukum fiqhnya harus tetap disampaikan dan disimpulkan dengan jelas, dan dipungkasi dengan dalil yang jelas pula.
Jangan sampai kita mengubah status hukum karena ingin manusia ridha dengan ucapan kita, lalu menyesatkan banyak manusia.
Santun dalam penyampaian, halus tutur bahasa dan pembawaan, insyaa Allaah akan memikat bagi mereka yang menginginkan kebaikan.
Hanya pada Allaah kita bermohon petunjuk dan bimbingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar