kisahmuallaf.com
– Nama aslinya Polosin Vyacheslav Sergeyevich. Ia dibesarkan di tengah
keluarga ateis. Meski hidup tanpa agama, sejak kecil Vyacheslav
memercayai keberadaan Tuhan yang misterius serta Mahakuasa.
“Aku percaya ia takkan menolak orang-orang yang datang dan berpaling kepada-Nya,” tulis dia dalam catatan perjalanannya menemukan Islam, How I Came to Islam.
Keyakinan itu terus berkembang dan menguat menyusul beberapa situasi sulit yang dialaminya. Sejak usia remaja, ketika ia merasa tak memiliki cukup kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan rumit, Vyacheslav selalu berusaha kembali kepada Tuhan yang diyakininya itu. “Aku memohon pertolongan dari-Nya dan situasi membaik setelah itu.”
Tak berhenti pada sebatas meyakini keberadaan Tuhan, ia pun ingin menemukan kebenaran sesungguhnya tentang Zat Yang Mahakuasa itu. Maka, ia mengajukan lamaran untuk belajar di Fakultas Filsafat Universitas Negeri Moskow dan ia diterima.
Di sanalah, Vyacheslav membuka Injil untuk pertama kalinya dan mendapati kesan yang bertentangan dengan dirinya. Ia menemukan beberapa bagian dari Injil tampak benar-benar supranatural, sementara di bagian lainnya Tuhan dikemukakan untuk menghancurkan sebagian besar bangsa.
“Ada pula gagasan-gagasan aneh (dalam Injil) seperti ‘otot’, ‘tangan’, ‘tubuh’, ‘daging’, dan ‘darah’ Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ada banyak asimilasi Sang Pencipta (Tuhan) dengan ciptaan-Nya, yakni manusia,” ujarnya.
Kala itu tahun 1970-an. Meski dihadapkan pada sesuatu yang dinilainya bertentangan, Vyacheslav melihat dirinya tak memiliki alternatif di tengah ideologi komunis negaranya, kecuali Gereja Ortodoks Rusia. Ia pun mendatangi sebuah Gereja Ortodoks pada usianya yang ke-19. “Di sana aku menemukan sebuah tradisi kuno serta keindahan nyanyian pujian yang memuja Tuhan. Lalu, kuputuskan mencari lebih banyak pengetahuan teologis dengan mengikuti sebuah seminari.”
Sampai pada keputusan itu, Vyacheslav merasa hal itu tak berarti bahwa ia telah menetapkan pilihan atas kepercayaan tertentu. “Karena, aku tidak memiliki kepercayaan lain apa pun untuk kubandingkan dengan Ortodoksi.”
Setelah mempelajari banyak dalil tentang ajaran Kristen melalui seminari, pria kelahiran 26 Juni 1956 ini kemudian menjadi imam keuskupan pada 1983. Posisi itu dimaknainya sebagai simbol peperangan rohani dan intelektual melawan kefasikan. “Aku merasa diriku menjadi prajurit Tuhan.”
Namun, perasaan itu tak berlangsung lama. Di tengah kesibukannya melayani umat di gereja, Vyacheslav merasa dipaksa mengabdikan diri untuk melakukan berbagai ritual di bawah perintah orang-orang yang disebutnya penuh takhayul. Aktivitasnya di gereja juga ia rasakan bukan untuk mengabdi di bidang spiritual dan keyakinan intelektual seperti perkiraannya. Kecewa, ia pun memutuskan tak lagi menjadi tentara Tuhan.
Pada 1991, Vyacheslav secara resmi meninggalkan pelayanan imamah. Namun, ia tak sekaligus meninggalkan agama yang telah menjadikannya seorang pendeta itu. Ia tetap menjadi pendeta dan melanjutkan pencariannya pada sebuah penjelasan teologis atas berbagai agama ritualistik.
Ia mulai mempelajari sumber-sumber kuno Kristen tentang sejarah gereja, sejarah pelayanan gereja, dan sejarah teologi. Penelusuran mendalam yang ia lakukan membawanya pada keraguan yang serius tentang kebenaran seluruh konsep teologis Roma-Bizantium. “Aku menemukan konsep teologi itu didasarkan atas misteri-misteri kafir pada masa lampau,” kata pria yang memperoleh gelar MA bidang ilmu politik dari Akademi Diplomatik Kemenlu Rusia itu.
Upaya pencariannya tak sia-sia. Pada 1995, Vyacheslav menyadari semua keraguannya, dan sejak itu ia mengundurkan diri dari seluruh keikutsertaannya dalam pelayanan gereja. Namun, tambahnya, keimanan antropis terhadap Yesus Kristus yang diperolehnya dari seminari kala itu masih menahannya dari pemahaman pada prinsip sederhana monoteisme. “Saat itu aku belum menyadari ajaran Islam, karena bagiku terjemahan Al-Quran oleh Krachkovskiy (akademisi yang menerjemahkan Al-Quran ke bahasa Rusia) mendistorsi arti dari ‘wahyu Ilahi’,” katanya.
Sematkan nama Ali
Namun akhirnya, semua keraguan yang membayangi Vyacheslav tentang Islam sirna saat ia menemukan penjelasan di Alquran dan ajaran Islam tentang Yesus (Nabi Isa ‘Alaihissalam). Ia menilai, penjelasan Al-Quran tentang Yesus sangat rasional. “Tuhan Yang Maha Penyayang dan Pemurah memperkuat keyakinanku. Lalu, aku dan istriku memutuskan untuk mengumumkan bahwa kami memeluk Islam dan berdakwah tentang monoteisme,” ujarnya.
Vyacheslav berislam pada 1999 dan menyematkan nama “Ali” di depan nama tengahnya. Keislamannya sempat menjadi kontroversi kala itu dan dinilai bersifat politis terkait keanggotaannya di parlemen Rusia. Setelah masuk Islam, Polosin terpilih sebagai salah satu ketua Refakh, sebuah gerakan sosial dan politik komunitas Muslim di Rusia. Ia juga menjadi pemimpin redaksi sebuah surat kabar Muslim yang diterbitkan pada 1999.
Vyacheslav kini menjadi tokoh Islam sekaligus pakar dialog lintas agama di Rusia serta menjadi direktur Al Wasatiya Center, sebuah organisasi internasional yang berupaya membantu menyelesaikan persoalan-persoalan berbasis perbedaan agama. Beberapa buku dan artikel yang ditulisnya telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Di antaranya, Secular State and Islamic Tradition in Russia, Criminal Sectarianism Will Never Become the Norm of Life, dan Rothschilds against Arab Rulers-Causes and Mechanism of Arab Revolutions.
“Aku percaya ia takkan menolak orang-orang yang datang dan berpaling kepada-Nya,” tulis dia dalam catatan perjalanannya menemukan Islam, How I Came to Islam.
Keyakinan itu terus berkembang dan menguat menyusul beberapa situasi sulit yang dialaminya. Sejak usia remaja, ketika ia merasa tak memiliki cukup kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan rumit, Vyacheslav selalu berusaha kembali kepada Tuhan yang diyakininya itu. “Aku memohon pertolongan dari-Nya dan situasi membaik setelah itu.”
Tak berhenti pada sebatas meyakini keberadaan Tuhan, ia pun ingin menemukan kebenaran sesungguhnya tentang Zat Yang Mahakuasa itu. Maka, ia mengajukan lamaran untuk belajar di Fakultas Filsafat Universitas Negeri Moskow dan ia diterima.
Di sanalah, Vyacheslav membuka Injil untuk pertama kalinya dan mendapati kesan yang bertentangan dengan dirinya. Ia menemukan beberapa bagian dari Injil tampak benar-benar supranatural, sementara di bagian lainnya Tuhan dikemukakan untuk menghancurkan sebagian besar bangsa.
“Ada pula gagasan-gagasan aneh (dalam Injil) seperti ‘otot’, ‘tangan’, ‘tubuh’, ‘daging’, dan ‘darah’ Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ada banyak asimilasi Sang Pencipta (Tuhan) dengan ciptaan-Nya, yakni manusia,” ujarnya.
Kala itu tahun 1970-an. Meski dihadapkan pada sesuatu yang dinilainya bertentangan, Vyacheslav melihat dirinya tak memiliki alternatif di tengah ideologi komunis negaranya, kecuali Gereja Ortodoks Rusia. Ia pun mendatangi sebuah Gereja Ortodoks pada usianya yang ke-19. “Di sana aku menemukan sebuah tradisi kuno serta keindahan nyanyian pujian yang memuja Tuhan. Lalu, kuputuskan mencari lebih banyak pengetahuan teologis dengan mengikuti sebuah seminari.”
Sampai pada keputusan itu, Vyacheslav merasa hal itu tak berarti bahwa ia telah menetapkan pilihan atas kepercayaan tertentu. “Karena, aku tidak memiliki kepercayaan lain apa pun untuk kubandingkan dengan Ortodoksi.”
Setelah mempelajari banyak dalil tentang ajaran Kristen melalui seminari, pria kelahiran 26 Juni 1956 ini kemudian menjadi imam keuskupan pada 1983. Posisi itu dimaknainya sebagai simbol peperangan rohani dan intelektual melawan kefasikan. “Aku merasa diriku menjadi prajurit Tuhan.”
Namun, perasaan itu tak berlangsung lama. Di tengah kesibukannya melayani umat di gereja, Vyacheslav merasa dipaksa mengabdikan diri untuk melakukan berbagai ritual di bawah perintah orang-orang yang disebutnya penuh takhayul. Aktivitasnya di gereja juga ia rasakan bukan untuk mengabdi di bidang spiritual dan keyakinan intelektual seperti perkiraannya. Kecewa, ia pun memutuskan tak lagi menjadi tentara Tuhan.
Pada 1991, Vyacheslav secara resmi meninggalkan pelayanan imamah. Namun, ia tak sekaligus meninggalkan agama yang telah menjadikannya seorang pendeta itu. Ia tetap menjadi pendeta dan melanjutkan pencariannya pada sebuah penjelasan teologis atas berbagai agama ritualistik.
Ia mulai mempelajari sumber-sumber kuno Kristen tentang sejarah gereja, sejarah pelayanan gereja, dan sejarah teologi. Penelusuran mendalam yang ia lakukan membawanya pada keraguan yang serius tentang kebenaran seluruh konsep teologis Roma-Bizantium. “Aku menemukan konsep teologi itu didasarkan atas misteri-misteri kafir pada masa lampau,” kata pria yang memperoleh gelar MA bidang ilmu politik dari Akademi Diplomatik Kemenlu Rusia itu.
Upaya pencariannya tak sia-sia. Pada 1995, Vyacheslav menyadari semua keraguannya, dan sejak itu ia mengundurkan diri dari seluruh keikutsertaannya dalam pelayanan gereja. Namun, tambahnya, keimanan antropis terhadap Yesus Kristus yang diperolehnya dari seminari kala itu masih menahannya dari pemahaman pada prinsip sederhana monoteisme. “Saat itu aku belum menyadari ajaran Islam, karena bagiku terjemahan Al-Quran oleh Krachkovskiy (akademisi yang menerjemahkan Al-Quran ke bahasa Rusia) mendistorsi arti dari ‘wahyu Ilahi’,” katanya.
Sematkan nama Ali
Namun akhirnya, semua keraguan yang membayangi Vyacheslav tentang Islam sirna saat ia menemukan penjelasan di Alquran dan ajaran Islam tentang Yesus (Nabi Isa ‘Alaihissalam). Ia menilai, penjelasan Al-Quran tentang Yesus sangat rasional. “Tuhan Yang Maha Penyayang dan Pemurah memperkuat keyakinanku. Lalu, aku dan istriku memutuskan untuk mengumumkan bahwa kami memeluk Islam dan berdakwah tentang monoteisme,” ujarnya.
Vyacheslav berislam pada 1999 dan menyematkan nama “Ali” di depan nama tengahnya. Keislamannya sempat menjadi kontroversi kala itu dan dinilai bersifat politis terkait keanggotaannya di parlemen Rusia. Setelah masuk Islam, Polosin terpilih sebagai salah satu ketua Refakh, sebuah gerakan sosial dan politik komunitas Muslim di Rusia. Ia juga menjadi pemimpin redaksi sebuah surat kabar Muslim yang diterbitkan pada 1999.
Vyacheslav kini menjadi tokoh Islam sekaligus pakar dialog lintas agama di Rusia serta menjadi direktur Al Wasatiya Center, sebuah organisasi internasional yang berupaya membantu menyelesaikan persoalan-persoalan berbasis perbedaan agama. Beberapa buku dan artikel yang ditulisnya telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Di antaranya, Secular State and Islamic Tradition in Russia, Criminal Sectarianism Will Never Become the Norm of Life, dan Rothschilds against Arab Rulers-Causes and Mechanism of Arab Revolutions.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar