Ayahku Dibunuh Karena Memeluk Islam
kisahmuallaf.com – Konflik Timor Leste
mewarnai perjalanan hidupnya, juga pertemuannya dengan Islam.
Bertahun-tahun lamanya, remaja bernama Luis Monteiro seolah menyusun
pecahan puzzle yang tak pernah ia tahu gambar utuhnya. Tak sia-sia,
setelah tujuh tahun, semua hal membingungkan itu membawanya pada satu
jawaban; Islam.
Terlahir di wilayah konflik tentu bukan keinginannya. Namun boleh jadi, itulah satu hal yang disyukurinya kini. Ali Akbar, ‘penyusun puzzle’ itu, kini telah hidup dalam kedamaian Islam. “Ceritanya panjang,” ujarnya.
Sebuah peristiwa di tengah masa itu mengawali segalanya. Ali dikejutkan oleh aksi Paus Yohanes Paulus II, ketika pemimpin gereja Katolik Roma itu berkunjung ke Jakarta pada 1989. “Setelah turun dari pesawat, ia sempat bersujud,” kata pria kelahiran 1973 itu.
Pemandangan yang disaksikannya melalui satu-satunya televisi nasional kala itu, katanya, segera memunculkan sesuatu yang aneh dalam hati dan pikirannya. “Terlintas pertanyaan besar dalam benakku, mengingat doktrin gereja yang sampai padaku menyebut Yohanes sebagai Tuhan. Jika ia memang Tuhan, lalu kepada siapa ia bersujud?” lanjutnya.
Ali berpendapat, sujud adalah ekspresi ketundukan seorang hamba pada Dzat yang besar dan agung serta lebih berkuasa darinya. Ali pun mulai mulai mencurigai dan mempertanyakan doktrin-doktrin gereja yang telah diterimanya. Lalu ia mulai mencoba melakukan pembangkangan dengan caranya.
Ali menjelaskan, salah satu doktrin gereja lainnya mengatakan bahwa setiap umat Katolik yang bertemu Paulus harus mencium tangannya. “Jika tidak, ia akan mati atau memperoleh akibat yang fatal,” ujarnya. Maka ketika Paulus II berkesempatan mengunjungi Timor Leste (saat itu Timor Timur), Ali memutuskan untuk ‘mencoba’ tidak menyalami sang Paulus.
“Sampai tahun 1990, semua aman. Tidak ada hal fatal yang terjadi, dan itu membuatku semakin ingin tahu tentang kebenaran ajaran agamaku,” katanya.
Pada tahun yang sama, Allah membimbing Ali pada potongan puzzle lainnya. Di tanah kelahirannya, bulan sabit adalah sebuah simbol adat. “Setiap rumah adat Timor Leste selalu memiliki simbol bulan sabit di bagian atapnya. Di saat yang sama, aku mengenalnya pula sebagai simbol masjid,” katanya.
Seolah tak terima, otak Ali kembali dipenuhi tanda tanya. Ia mempertanyakan mengapa simbol itu tidak terdapat di gereja yang menjadi tempat ibadah hampir seluruh masyarakat Timor Leste. “Aku benar-benar ingin tahu mengapa simbol kami itu justru terdapat di tempat ibadah umat lain (Muslim).”
Seorang pria keturunan Arab yang dikenalnya mengatakan pada Ali, bahwa sebelum Portugal datang, Timor Leste telah dihuni oleh orang Islam. “Menurutnya, simbol bulan sabit adalah peninggalan orang-orang Islam pada masa itu,” ujarnya. Ali menyimpan jawaban itu dalam pikirannya.
Tak lama berselang, pertanyaan serupa kembali berputar di kepala Ali. Ia melihat kesamaan antara alat musik tabuh khas Timor Leste, tebe-tebe (bentuknya seperti seperti bedug, namun berukuran kecil), dengan bedug yang pernah diihatnya di masjid. Juga antara ritual baptis dengan amalan wudhu yang dilakukan oleh Muslim sebelum shalat. “Aku merasa seolah ada kedekatan antara adat kami dengan budaya Islam,” katanya.
Ali lalu menghampiri ayahnya dan mengutarakan rasa ingin tahunya. “Ayah hanya menjelaskan bahwa sebagian dari adat kami adalah peninggalan sekelompok orang yang tidak makan babi. Belakangan aku baru tahu bahwa mereka (yang tidak makan babi) adalah orang-orang Islam.”
Aturan yang semakin menjauhkannya dari bangku sekolah itu tak sepenuhnya ia sesali. Karena justru di lingkungan militer itu Ali mengenal huruf dan angka serta baca-tulis.
Segera setelah mampu membaca, meski masih terbata-bata, Ali tergerak untuk mengetahui isi Al-Kitab. Ketika pulang ke rumah suatu hari, ia meminjam Injil milik kakak iparnya dan mencoba membacanya. Di barak, ia juga memiliki bacaan lain. “Buku cetakan 1975 terbitan Thoha Putra. Judulnya Tuntunan Shalat Lengkap,” jelas Ali.
Di buku itu, Ali menemukan kejutan lain. “Ada kata ‘jemaah’ (ejaan lama untuk kata ‘jamaah’), sama dengan nama gerejaku; Jemaat. Lagi-lagi aku didekatkan pada Islam melalui hal-hal yang kukenal.” Ia juga menemukan kata “derajat” dalam buku itu, menjelaskan pahala orang yang shalat berjamaah.
Ali muda yang tidak bisa mendiamkan hal itu pun bertanya pada kakak iparnya tentang arti dan makna ‘derajat’. Ia juga menanyakan imbalan bagi jemaat gereja jika mereka melakukan segala sesuatu yang diperintahkan Tuhan. “Ia hanya menjawab bahwa belum waktunya aku menanyakan perkara itu.”
Tidak puas, sekembalinya ke barak, ia bertanya pada salah seorang tentara Muslim tentang arti derajat, juga tentang pengertian shalat dan berjemaah. Darinya, Ali mengerti bahwa shalat adalah sembahyang, derajat berarti nilai, dan jemaah adalah bersama-sama.
Ketika tentara itu sampai pada penjelasan tentang pahala shalat berjamaah, Ali segera dihinggapi perasaan kagum. “Semakin baik amalan dilakukan, semakin tinggi nilai imbalannya. Itu ajaran yang hebat,” katanya.
Ali kembali mendatangi kakak iparnya dengan sebuah pertanyaan yang sama; imbalan yang akan diperolehnya jika ia menjalankan semua yang diperintahkan Tuhan. Tak ada jawaban yang memuaskan Ali. Dan diskusi yang berlangsung hampir semalaman itu berakhir dengan pertengkaran keesokan paginya.
Diskusi tersebut membawa Ali pada kesimpulan yang tak diharapkannya. Ia segera teringat keterlibatannya sebagai anggota militer non-formal kala itu. “Aku tidak digaji, tidak memiliki jaminan hidup, dan jika harus mati, aku akan mati secara konyol. Tidak seperti para tentara formal yang digaji oleh pemimpin tertinggi mereka.”
“Harus seperti itukah posisiku dalam beragama jika Tuhan tidak memberikan imbalan apapun atas amalan umatnya? Jadi, apakah agama hanya untuk orang-orang tertentu?” Ali berontak. Ia semakin geram ketika tahu mereka yang bersekolah mendapatkan nilai dari guru atas hasil kerja dan prestasi mereka di sekolah. “Bagaimana mungkin Tuhan tidak memberiku imbalan sedikitpun atas amal baikku? Apa manfaat sembahyangku selama ini?”
“Sebelum membaca itu, yang kutahu dari gereja adalah bahwa agama hanya satu, yakni agama kami. Maka pada detik setelah aku membaca itu, aku mulai meragukan agamaku.”
Hingga kemudian, Ali menemukan sebuah Alquran Terjemahan terbitan Departemen Agama milik seorang tentara. Ia membukanya secara acak dan menemukan terjemahan yang berbunyi “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanya Islam (QS. Ali ‘Imron: 19).” Ali pun tersentak.
Ketika di rumah, ia bermaksud mencari ayat serupa dalam Al-Kitab. Dua bulan membacanya, Ali tak menemukan kalimat dengan redaksi yang serupa dengan kalimat dalam Alquran yang dibacanya di barak. “Tak ada ayat yang mengatakan bahw aKristen adalah satu-satunya agama yang diterima di sisi Tuhan,” katanya.
Pada kesempatan lainnya, di surah yang sama pada ayat 85, Ali menemukan kalimat yang berbunyi “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” Ali kembali menelusuri kalimat-kalimat Al-Kitab untuk menemukan kalimat serupa. Pencariannya kembali nihil.
Sebaliknya, ia justru menemukan ayat-ayat yang tidak sesuai dan bertolak belakang. “Seperti ayat yang menjelaskan tentang Yesus,” ujarnya. Sebagian ayat, kata Ali, menyebutnya sebagai anak Tuhan, sementara ayat yang lain menyebutnya anak Abraham.
Tak hanya kitab suci, Ali membaca buku Biologi untuk SMP. Membaca bab reproduksi, Ali dengan mudah menyimpulkan bahwa laki-laki tidak melahirkan. Doktrin bahwa Yesus adalah anak Tuhan pun mulai mengganggu logikanya. “Yesus tidak seharusnya dinasabkan pada Tuhan karena Tuhan tidak punya istri,” ia mendebat dalam hati.
“Atau, Tuhan itu perempuan? Jika ya, maka Ia adalah Maryam. Namun bukankah Maryam sudah mati? Lalu siapa yang mengatur alam semesta sejak ia mati? Dan jika memang manusia seperti Maryam layak dijadikan Tuhan, mengapa manusia tidak menuhankan Adam, manusia pertama di bumi?”
Semua pertanyaan krusial itu mendorong Ali untuk mendatangi seorang pastor berkebangsaan Filipina yang ditugaskan di Timor Timur. Olehnya, Ali dinasihati agar datang ke gereja jika ingin bertemu Tuhan. “Aku tidak membantah, namun juga tidak membenarkannya. Jika Tuhan yang ia maksud adalah patung Yesus dan Bunda Maria, itu bukan yang kucari,” katanya.
Pertanyaan dan pergulatan batin yang melelahkan itu membawa Ali pada keraguan yang semakin besar pada agamanya. Hingga pada suatu hari pada 1995, ia merasa harus mengakhirinya dengan sebuah keputusan memilih Islam. Kepada tentara yang menjelaskannya pengertian ‘jemaah’ dan ‘derajat,’ Ali menyampaikan keinginannya.
Tentu, berpindah agama bukanlah perkara ringan di Timor Timur yang dirundung konflik kala itu. Dan atas pertimbangan keamanan, tentara itu menjelaskan risiko yang mungkin dihadapi Ali jika ia meninggalkan agamanya dan menjadi Muslim. “Katanya, aku bisa diusir, dibuat cacat, bahkan dibunuh akibat keputusan itu. Ia memintaku memikirkan kembali keputusanku untuk memeluk Islam.”
Tak ingin membiarkan dirinya gamang berkepanjangan, Ali kembali mendatangi tentara yang sama untuk diislamkan. “Tahun 1996, tapi aku lupa tanggal dan bulannya,” ujarnya. Disaksikan oleh tiga orang tentara, Luis Monteiro bersyahadat. Di barak militer itu, ia resmi menjadi seorang Muslim.
Berbekal status mualaf, Luis Monteiro kembali gamang. Ia sadar, di lingkungannya, keislamannya tak mungkin berkembang. Ia pun memutuskan meninggalkan barak dan rumahnya menuju Dili. “Kepergianku yang tanpa sepengetahuan keluargaku dilepas oleh tentara yang mengislamkanku. Ia memelukku dan menangis,” tutur Ali.
Sampai di kota, ia menemukan sebuah yayasan Islam. Karena tak berbekal ijazah dan surat keterangan dari desa, Ali ditolak. “Meminta surat keterangan dari desa sama saja cari mati,” katanya. Ia pulang dan tak mampu berbuat banyak. Ali bahkan tak tahu bagaimana menjalankan shalat lima waktu yang telah menjadi kewajibannya.
Suatu hari, ia memutuskan kembali berangkat ke Dili dan mendatangi yayasan yang sama. “Aku memaksa pihak yayasan untuk mengizinkanku belajar di sana, meski aku tidak diizinkan mengikuti pendidikan formal.” Ali mendapatkan izin itu. Di sana, ia belajar shalat dan membaca Alquran.
Kesempatan itu tidak lama, karena pertolongan yang lebih besar dari Allah menghampirinya. Ustaz yang pernah menolaknya di yayasan tersebut mengantarkannya ke Jawa untuk mendalami Islam di sebuah pesantren di Jawa Timur. Keberangkatannya itu terjadi pada 1998.
Namun pertolongan besar itu terjadi setelah Allah terlebih dahulu menguji Ali. Setelah berhasil mengislamkan kedua orang tuanya pada 1997, ia harus kehilangan ayahnya yang tewas dibunuh orang-orang yang tidak suka dengan keislamannya.
“Beliau wafat pada hari Jumat di bulan Ramadhan,” ujar Ali seraya mengambil nafas panjang. Ia lalu menghentikan sejenak ceritanya. “Aku tidak akan pernah bisa melupakan itu.”
Pada kesempatan lainnya, Ali berhasil mengislamkan pula ketiga adiknya dan memboyong mereka ke Jawa. Salah seorang diantaranya kini tengah menempuh studi di Madinah. Ali sendiri memutuskan untuk mendalami Alquran di Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ).
Tahun ketiga di perguruan Alquran tersebut, Ali melengkapi studi Alqurannya dengan mendalami bahasa Arab di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) sejak 2010 hingga sekarang.
Kini, sambil terus memperdalam keislamannya, Ali membimbing sejumlah mualaf di pesantren khusus mualaf Yayasan An-Naba’ Center di Ciputat, Tangerang. Setelah menyelesaikan semua studinya nanti, Ali akan kembali ke Makasar dan bersama istrinya mengelola sebuah pesantren yang ia rintis bersama kakak iparnya.
Terlahir di wilayah konflik tentu bukan keinginannya. Namun boleh jadi, itulah satu hal yang disyukurinya kini. Ali Akbar, ‘penyusun puzzle’ itu, kini telah hidup dalam kedamaian Islam. “Ceritanya panjang,” ujarnya.
***
Ali masih mengingatnya dengan baik. Dua puluh tiga tahun yang lalu,
ia adalah seorang Kristiani yang rajin mengunjungi gereja. Ia adalah
satu dari delapan orang bersaudara dan tinggal di dalam sebuah rumah
yang memiliki simbol bulan sabit. Seorang yang tak pernah menempuh
pendidikan formal hingga usia 20-an, dan menghabiskan masa remajanya di
barak militer.Sebuah peristiwa di tengah masa itu mengawali segalanya. Ali dikejutkan oleh aksi Paus Yohanes Paulus II, ketika pemimpin gereja Katolik Roma itu berkunjung ke Jakarta pada 1989. “Setelah turun dari pesawat, ia sempat bersujud,” kata pria kelahiran 1973 itu.
Pemandangan yang disaksikannya melalui satu-satunya televisi nasional kala itu, katanya, segera memunculkan sesuatu yang aneh dalam hati dan pikirannya. “Terlintas pertanyaan besar dalam benakku, mengingat doktrin gereja yang sampai padaku menyebut Yohanes sebagai Tuhan. Jika ia memang Tuhan, lalu kepada siapa ia bersujud?” lanjutnya.
Ali berpendapat, sujud adalah ekspresi ketundukan seorang hamba pada Dzat yang besar dan agung serta lebih berkuasa darinya. Ali pun mulai mulai mencurigai dan mempertanyakan doktrin-doktrin gereja yang telah diterimanya. Lalu ia mulai mencoba melakukan pembangkangan dengan caranya.
Ali menjelaskan, salah satu doktrin gereja lainnya mengatakan bahwa setiap umat Katolik yang bertemu Paulus harus mencium tangannya. “Jika tidak, ia akan mati atau memperoleh akibat yang fatal,” ujarnya. Maka ketika Paulus II berkesempatan mengunjungi Timor Leste (saat itu Timor Timur), Ali memutuskan untuk ‘mencoba’ tidak menyalami sang Paulus.
“Sampai tahun 1990, semua aman. Tidak ada hal fatal yang terjadi, dan itu membuatku semakin ingin tahu tentang kebenaran ajaran agamaku,” katanya.
Pada tahun yang sama, Allah membimbing Ali pada potongan puzzle lainnya. Di tanah kelahirannya, bulan sabit adalah sebuah simbol adat. “Setiap rumah adat Timor Leste selalu memiliki simbol bulan sabit di bagian atapnya. Di saat yang sama, aku mengenalnya pula sebagai simbol masjid,” katanya.
Seolah tak terima, otak Ali kembali dipenuhi tanda tanya. Ia mempertanyakan mengapa simbol itu tidak terdapat di gereja yang menjadi tempat ibadah hampir seluruh masyarakat Timor Leste. “Aku benar-benar ingin tahu mengapa simbol kami itu justru terdapat di tempat ibadah umat lain (Muslim).”
Seorang pria keturunan Arab yang dikenalnya mengatakan pada Ali, bahwa sebelum Portugal datang, Timor Leste telah dihuni oleh orang Islam. “Menurutnya, simbol bulan sabit adalah peninggalan orang-orang Islam pada masa itu,” ujarnya. Ali menyimpan jawaban itu dalam pikirannya.
Tak lama berselang, pertanyaan serupa kembali berputar di kepala Ali. Ia melihat kesamaan antara alat musik tabuh khas Timor Leste, tebe-tebe (bentuknya seperti seperti bedug, namun berukuran kecil), dengan bedug yang pernah diihatnya di masjid. Juga antara ritual baptis dengan amalan wudhu yang dilakukan oleh Muslim sebelum shalat. “Aku merasa seolah ada kedekatan antara adat kami dengan budaya Islam,” katanya.
Ali lalu menghampiri ayahnya dan mengutarakan rasa ingin tahunya. “Ayah hanya menjelaskan bahwa sebagian dari adat kami adalah peninggalan sekelompok orang yang tidak makan babi. Belakangan aku baru tahu bahwa mereka (yang tidak makan babi) adalah orang-orang Islam.”
***
Hingga usia 20-an, Ali tak pernah mengenyam bangku sekolah. Terlahir
dari dua orang tua yang tidak mengenal baca-tulis, dan sebagai anak
laki-laki yang memiliki tiga orang adik, Ali harus mengutamakan
adik-adiknya. Terlebih, ketika mulai diberlakukan wajib militer, Ali
harus meninggalkan rumah dan tinggal di barak. “Kami dilatih untuk
menjadi tenaga bantuan operasi militer. Semacam sukarelawan, karena kami
tidak digaji.”Aturan yang semakin menjauhkannya dari bangku sekolah itu tak sepenuhnya ia sesali. Karena justru di lingkungan militer itu Ali mengenal huruf dan angka serta baca-tulis.
Segera setelah mampu membaca, meski masih terbata-bata, Ali tergerak untuk mengetahui isi Al-Kitab. Ketika pulang ke rumah suatu hari, ia meminjam Injil milik kakak iparnya dan mencoba membacanya. Di barak, ia juga memiliki bacaan lain. “Buku cetakan 1975 terbitan Thoha Putra. Judulnya Tuntunan Shalat Lengkap,” jelas Ali.
Di buku itu, Ali menemukan kejutan lain. “Ada kata ‘jemaah’ (ejaan lama untuk kata ‘jamaah’), sama dengan nama gerejaku; Jemaat. Lagi-lagi aku didekatkan pada Islam melalui hal-hal yang kukenal.” Ia juga menemukan kata “derajat” dalam buku itu, menjelaskan pahala orang yang shalat berjamaah.
Ali muda yang tidak bisa mendiamkan hal itu pun bertanya pada kakak iparnya tentang arti dan makna ‘derajat’. Ia juga menanyakan imbalan bagi jemaat gereja jika mereka melakukan segala sesuatu yang diperintahkan Tuhan. “Ia hanya menjawab bahwa belum waktunya aku menanyakan perkara itu.”
Tidak puas, sekembalinya ke barak, ia bertanya pada salah seorang tentara Muslim tentang arti derajat, juga tentang pengertian shalat dan berjemaah. Darinya, Ali mengerti bahwa shalat adalah sembahyang, derajat berarti nilai, dan jemaah adalah bersama-sama.
Ketika tentara itu sampai pada penjelasan tentang pahala shalat berjamaah, Ali segera dihinggapi perasaan kagum. “Semakin baik amalan dilakukan, semakin tinggi nilai imbalannya. Itu ajaran yang hebat,” katanya.
Ali kembali mendatangi kakak iparnya dengan sebuah pertanyaan yang sama; imbalan yang akan diperolehnya jika ia menjalankan semua yang diperintahkan Tuhan. Tak ada jawaban yang memuaskan Ali. Dan diskusi yang berlangsung hampir semalaman itu berakhir dengan pertengkaran keesokan paginya.
Diskusi tersebut membawa Ali pada kesimpulan yang tak diharapkannya. Ia segera teringat keterlibatannya sebagai anggota militer non-formal kala itu. “Aku tidak digaji, tidak memiliki jaminan hidup, dan jika harus mati, aku akan mati secara konyol. Tidak seperti para tentara formal yang digaji oleh pemimpin tertinggi mereka.”
“Harus seperti itukah posisiku dalam beragama jika Tuhan tidak memberikan imbalan apapun atas amalan umatnya? Jadi, apakah agama hanya untuk orang-orang tertentu?” Ali berontak. Ia semakin geram ketika tahu mereka yang bersekolah mendapatkan nilai dari guru atas hasil kerja dan prestasi mereka di sekolah. “Bagaimana mungkin Tuhan tidak memberiku imbalan sedikitpun atas amal baikku? Apa manfaat sembahyangku selama ini?”
***
Ketika otaknya masih menyimpan berbagai pertanyaan yang belum
terjawab, suatu hari Ali menemukan buku kecil berjudul “UUD 1945” di
barak. Ia membacanya dan menemukan pasal yang menjelaskan tentang
kebebasan beragama. Ia juga menemukan daftar lima agama yang diakui di Indonesia dalam buku Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), di mana Islam berada di urutan pertama.“Sebelum membaca itu, yang kutahu dari gereja adalah bahwa agama hanya satu, yakni agama kami. Maka pada detik setelah aku membaca itu, aku mulai meragukan agamaku.”
Hingga kemudian, Ali menemukan sebuah Alquran Terjemahan terbitan Departemen Agama milik seorang tentara. Ia membukanya secara acak dan menemukan terjemahan yang berbunyi “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanya Islam (QS. Ali ‘Imron: 19).” Ali pun tersentak.
Ketika di rumah, ia bermaksud mencari ayat serupa dalam Al-Kitab. Dua bulan membacanya, Ali tak menemukan kalimat dengan redaksi yang serupa dengan kalimat dalam Alquran yang dibacanya di barak. “Tak ada ayat yang mengatakan bahw aKristen adalah satu-satunya agama yang diterima di sisi Tuhan,” katanya.
Pada kesempatan lainnya, di surah yang sama pada ayat 85, Ali menemukan kalimat yang berbunyi “Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” Ali kembali menelusuri kalimat-kalimat Al-Kitab untuk menemukan kalimat serupa. Pencariannya kembali nihil.
Sebaliknya, ia justru menemukan ayat-ayat yang tidak sesuai dan bertolak belakang. “Seperti ayat yang menjelaskan tentang Yesus,” ujarnya. Sebagian ayat, kata Ali, menyebutnya sebagai anak Tuhan, sementara ayat yang lain menyebutnya anak Abraham.
Tak hanya kitab suci, Ali membaca buku Biologi untuk SMP. Membaca bab reproduksi, Ali dengan mudah menyimpulkan bahwa laki-laki tidak melahirkan. Doktrin bahwa Yesus adalah anak Tuhan pun mulai mengganggu logikanya. “Yesus tidak seharusnya dinasabkan pada Tuhan karena Tuhan tidak punya istri,” ia mendebat dalam hati.
“Atau, Tuhan itu perempuan? Jika ya, maka Ia adalah Maryam. Namun bukankah Maryam sudah mati? Lalu siapa yang mengatur alam semesta sejak ia mati? Dan jika memang manusia seperti Maryam layak dijadikan Tuhan, mengapa manusia tidak menuhankan Adam, manusia pertama di bumi?”
Semua pertanyaan krusial itu mendorong Ali untuk mendatangi seorang pastor berkebangsaan Filipina yang ditugaskan di Timor Timur. Olehnya, Ali dinasihati agar datang ke gereja jika ingin bertemu Tuhan. “Aku tidak membantah, namun juga tidak membenarkannya. Jika Tuhan yang ia maksud adalah patung Yesus dan Bunda Maria, itu bukan yang kucari,” katanya.
Pertanyaan dan pergulatan batin yang melelahkan itu membawa Ali pada keraguan yang semakin besar pada agamanya. Hingga pada suatu hari pada 1995, ia merasa harus mengakhirinya dengan sebuah keputusan memilih Islam. Kepada tentara yang menjelaskannya pengertian ‘jemaah’ dan ‘derajat,’ Ali menyampaikan keinginannya.
Tentu, berpindah agama bukanlah perkara ringan di Timor Timur yang dirundung konflik kala itu. Dan atas pertimbangan keamanan, tentara itu menjelaskan risiko yang mungkin dihadapi Ali jika ia meninggalkan agamanya dan menjadi Muslim. “Katanya, aku bisa diusir, dibuat cacat, bahkan dibunuh akibat keputusan itu. Ia memintaku memikirkan kembali keputusanku untuk memeluk Islam.”
Tak ingin membiarkan dirinya gamang berkepanjangan, Ali kembali mendatangi tentara yang sama untuk diislamkan. “Tahun 1996, tapi aku lupa tanggal dan bulannya,” ujarnya. Disaksikan oleh tiga orang tentara, Luis Monteiro bersyahadat. Di barak militer itu, ia resmi menjadi seorang Muslim.
Berbekal status mualaf, Luis Monteiro kembali gamang. Ia sadar, di lingkungannya, keislamannya tak mungkin berkembang. Ia pun memutuskan meninggalkan barak dan rumahnya menuju Dili. “Kepergianku yang tanpa sepengetahuan keluargaku dilepas oleh tentara yang mengislamkanku. Ia memelukku dan menangis,” tutur Ali.
Sampai di kota, ia menemukan sebuah yayasan Islam. Karena tak berbekal ijazah dan surat keterangan dari desa, Ali ditolak. “Meminta surat keterangan dari desa sama saja cari mati,” katanya. Ia pulang dan tak mampu berbuat banyak. Ali bahkan tak tahu bagaimana menjalankan shalat lima waktu yang telah menjadi kewajibannya.
Suatu hari, ia memutuskan kembali berangkat ke Dili dan mendatangi yayasan yang sama. “Aku memaksa pihak yayasan untuk mengizinkanku belajar di sana, meski aku tidak diizinkan mengikuti pendidikan formal.” Ali mendapatkan izin itu. Di sana, ia belajar shalat dan membaca Alquran.
Kesempatan itu tidak lama, karena pertolongan yang lebih besar dari Allah menghampirinya. Ustaz yang pernah menolaknya di yayasan tersebut mengantarkannya ke Jawa untuk mendalami Islam di sebuah pesantren di Jawa Timur. Keberangkatannya itu terjadi pada 1998.
Namun pertolongan besar itu terjadi setelah Allah terlebih dahulu menguji Ali. Setelah berhasil mengislamkan kedua orang tuanya pada 1997, ia harus kehilangan ayahnya yang tewas dibunuh orang-orang yang tidak suka dengan keislamannya.
“Beliau wafat pada hari Jumat di bulan Ramadhan,” ujar Ali seraya mengambil nafas panjang. Ia lalu menghentikan sejenak ceritanya. “Aku tidak akan pernah bisa melupakan itu.”
Pada kesempatan lainnya, Ali berhasil mengislamkan pula ketiga adiknya dan memboyong mereka ke Jawa. Salah seorang diantaranya kini tengah menempuh studi di Madinah. Ali sendiri memutuskan untuk mendalami Alquran di Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ).
Tahun ketiga di perguruan Alquran tersebut, Ali melengkapi studi Alqurannya dengan mendalami bahasa Arab di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) sejak 2010 hingga sekarang.
Kini, sambil terus memperdalam keislamannya, Ali membimbing sejumlah mualaf di pesantren khusus mualaf Yayasan An-Naba’ Center di Ciputat, Tangerang. Setelah menyelesaikan semua studinya nanti, Ali akan kembali ke Makasar dan bersama istrinya mengelola sebuah pesantren yang ia rintis bersama kakak iparnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar