Senyum Tulus Orang Asing Jadikan Mustafa Davis Muslim dalam Tiga Hari
kisahmuallaf.com – Lima belas tahun lalu ,ketika Mustafa Davis tengah dalam perjalanan menuju kampusnya, ia berlari ke arah pria berwajah ramah. Si pria menunjuk ke arah kaus oblong yang ia kenakan dan berkata, “Penampilan bagus” lalu berdiri dan menjabat tangannya.Saat itu Davis ingat betul mengenakan kostum kombinasi kaos dari Haile Selassie, celana jeans baggy yang sangat kedodoran, sepatu Puma, kaca mata hitam dan jacket pemain snowboard merek Session. Ia dulu adalah salah satu penganut serius aliran campuran hip-hop dan skater dari California Bay Area.
Bahagia karena mengenal kostum ala rasta yang dikenakan Davis, lelaki tadi berkata lagi, “Hei saya pikir saya mengenalmu, kita bertemu di sebuah tempat, Nama saya Whitney Canon (kini lelaki itu bernama Usama Canon). Ia merespon pula dengan hangat dan mereka terlibat dalam obrolan dan akhirnya saling menyadari bahwa mereka mengenal teman yang sama. “Pertemuan ini akan menjadi satu dari dua peristiwa acak paling penting dalam hidup saya,” ujarnya.
Mustafa Davis dilahirkan dari keluarga Katholik dengan ayah Afrika-Amerika dan ibu Kaukasia. Orangtuanya bercerai ketika ia masih remaja. Suatu saat ia pernah tinggal bersama ayahnya yang meski miskin namun memiliki harga diri tinggi.
“Saya ingat ketika ayah tak memiliki uang untuk mempertahankan flatnya, kami pun harus hidup di luar. Saat tak mendapat jatah menginap di panti sosial kami terpaksa tidur di taman. Tapi ayah saya selalu bilang. ‘Kita bukan gelandangan nak, maka kita tidak tidur sebagai gelandangan,’” tutur Mustafa menirukan ucapan ayahnya.
Ayah Davis tidur di bangku taman dalam posisi duduk. Sementara Davis kecil tak bisa tahan dan merebahkan diri, ayahnya tetap dalam posisi itu hingga pagi. Hingga suatu hari ayahnya menyatakan tak mampu lagi menanggung biaya hidup Davis dan menyerahkan kepada ibunya.
Tinggal bersama ibunya yang telah menikah dengan pria Kaukasia, meski dengan keuangan lebih baik, kehidupan Davis tak lantas mulus. Ia kerap cek-cok dengan ayah barunya. Tak tahan, ibunya pun memintanya pergi untuk tinggal bersama kakak tirinya.
Kakak tirinya ternyata memberi ultimatum, bila ia hanya mampu menampung Davis selama tiga hari. Bila Davis tidak bisa mendapatkan pekerjaan maka dalam tiga hari ia harus angkat kaki dari apartemennya. Selama tiga hari Davis berupaya mati-matian mencari pekerjaan. Tapi tak ada lowongan, hingga akhirnya masuk hari ketiga, karena putus asa ia bahkan mencoba bunuh diri.
Davis menenggak pil tidur di jalanan hingga sempat koma. Takdir berkata lain. Ia ditemukan kakak tirinya dan lalu dilarikan ke rumah sakit. Saat tersadar dan mengetahui bahwa ia masih hidup, kata pertama yang diucapkan Davis, “Crap, I failed” (Sial, saya gagal).
Satu konsekuensi yang harus dijalani pasien percobaan bunuh diri di Amerika adalah wajib lapor kepada petugas sosial dan mengikuti sesi terapi yang telah ditentukan. Saat itulah ia mulai berpikir lagi tentang agama.
Ketika itu, Usama Canon menjadi salah satu teman dan sosok terpenting dalam perjalanannya menuju Islam. Davis dan Canon bukan hanya kawan di luar. Mereka ternyata teman sekelas dalam pelajaran Bahasa Spanyol dan selalu duduk bersebelahan. Mereka akhirnya juga saling mengetahui bila kedua-duanya adalah seniman dan musisi.
Usama memiliki kode masuk ke ruang piano di aula musik. Mereka kerap menyelinap ke ruang itu untuk duduk dan bermain musik berjam-jam dan berdiskusi tentang spiritual. Davis dan Canon melakukan itu sepanjang semester.
Satu hari saat bersantap sushi di restoran Jepang dekat kampus, Davis mengaku pada Canon betapa ia lelah dengan hidupnya dan ingin kembali ke jalan yang lurus. Ketika itu Davis telah memiliki pekerjaan sebagai pelayan restoran di malam hari dan hidup sendiri di San Jose.
Davis merasa menanggung beban kejahatan masa lalu yang akan diam-diam dapat muncul dan menyergapnya, membuatnya terpuruk dari waktu ke waktu. “Jadi saat itu solusi nyata yang saya yakini untuk menghadapi masalah semacam ini adalah menjadi religius dan kembali ke gereja,” tuturnya.
Ia berkata pada Usama tengah mempertimbangkan kembali ke Katholik demi membuat hidupnya kembali tertib. Usama tiba-tiba bertanya apakah Davis pernah berpikir mengenai Islam. “Saya bilang kepadanya bahwa saya tak berpikir itu karena saya merasa bahwa itu adalah agama Arab atau gerakan separatis kulit hitam,” tuturnya.
Citra Islam di AS juga identik dengan Nation of Islam, gerakan yang didirikan oleh Wallace Fard Muhammad. Namun Nation of Islam sangat kental dengan semangat rasisme kulit hitam yang akhirnya memunculkan stigma negatif. Almarhum Malcolm X dulu juga bergabung dalam Nation of Islam. Tapi setelah memahami ideologi gerakan tersebut dan kian tersadarkan dengan persamaan derajat saat beribadah haji ke Mekkah ia memutuskan keluar. Mantan petinju Muhammad Ali juga sosok yang selalu menjaga jarak dengan Nation of Islam.
Selain tak nyaman dengan Islam, Davis merasa selama ini Muslim yang pernah ia jumpai adalah hipokrit dan ia mengaku tak pernah melihat Muslim yang taat dan baik.
Canon bercerita tentang kakak lelakinya yang telah memeluk Islam setelah bergabung sesaat dengan Nation of Islam. Kakaknya berkata agama itu bukan hanya untuk Arab dan cuku universal (Saat bercerita itu Usama masih belum masuk Islam, ia masih menggunakan nama Withney). Kakak Usama, Anas Canon, kini tak lagi bersama Nation of Islam.
Canon bertanya kepada Davis apakah ia mengenal Rasul Muhammad dan Davis menjawab yang ia tahu hanyalah Elijah Muhammad (salah satu pemimpin utama di Nation of Islam) yang bahkan menurut Malcoml x, bukanlah nabi. Canon lantas menerangkan bahwa ada sosok berbeda juga bernama Muhammad, yakni berasal dari Arab dan seorang rasul. Ia menyarankan agar Davis mempelajarinya.
Pda titik itu, ia menghindar. “Itu yang biasa saya lakukan ketika seseorang berbincang blak-blakan kepada saya mengenai agama. Lagi pula ‘Nabi Arab’? Saya tahu saat itu Islam bukan untuk saya.” imbuhnya. Mereka mengakhiri obrolan dan Davis menuju ke tempat kerja. Saat itu adalah Rabu.
Malam seusai bekerja ia pergi ke toko buku untuk membeli Injil dan berjalan melewati bagian “Filosofi Timur” dan berhenti lalu melihat sebuah buku hijau dengan nama ‘MUHAMMAD’ ditulis sepenuhnya dengan huruf timbul dalam tinta emas. Ia berpikir sesaat dan lalu meraik buku itu dari rak.
Judul sampul berbunyi, “MUHAMMAD-Sejarah Hidup Berdasar dari Sumber-Sumber Terdahulu” oleh Martin LIngs. Frasa ‘sumber-sumber terdahulu’ mengggugah rasa penasaran Davis meski ia di sana untuk membeli Injil. Saat itu Davis telah sadar dengan debat teologi mengenai sejumlah kesalahan dalam Injil yang juga cukup menggangunya.
“Jadi saya pun membuka buku itu dan mencoba membacanya. Namun nama-nama Arab sungguh sulit saya eja jadi saya mesti berjuang meski untuk memahami beberapa kalimat,” ungkapnya. Empat atau lima kalimat yang dibaca Davis menyebut Al Qur’an beberapa kali. “Tapi saat itu nama-nama Arab yang solid kiat meneguhkan realitas yang saya terima bahwa Islam adalah agama Arab dan bukan sesuatu yang menggerakkan saya untuk menjadi bagian dari itu, saya pun letakkan buku itu kembali.”
Ketika ia mulai berjalan meninggalkan hiruf-huruf emas “Muhammad”, matanya menangkap lagi sebuah buku lain. Kali ini, ia matanya tertuju pada sebuah buku berjudul ‘THE QUR’AN’. “Saya waktu itu hendak melewatinya namun teringat kata yang beberapa kali muncul dalam buku Martin Lings, jadi saya meraih buku itu dan mengambil dari rak.
Davis membuka secara acak dan terbuka begitu halam pertama Ayat Maryam. Ia membaca dari awal hingga akhir dan mengingat tubuhnya mulai merinding ketika ayat itu menerangkan dalam detil bagaimana kelahiran ajaib Rasul Isa Al Masih. “Saya sama sekali tak tahu bila Muslim juga mempercayai kelahiran ajaib Yesus tapi mereka tak meyakini ia sebagai anak Tuhan. Jujur sebagai seorang Kristen saya sendiri menganggap tak masuk akal Tuhan akan memiliki seorang anak.”
Tanpa memahami mengapa, di dalam toko buku itu ia memegang satu salinan terjemahan Al Qur’an dengan meneteskan air mata. “Saya memutuskan membelinya sehingga saya bisa membaca lebih lanjut apa yang sebenarnya yang diyakini Muslim,” tutur Davis. Dalam kondisi emosional saat itu, ia sepenuhnya lupa untuk membeli Injil dan lalu meninggalkan toko buku.
Keesokan paginya, Kamis, ia pergi ke kampus. Dalam perjalanan ke kelas ia melewati sebuah gelaran dagangan pinggir jalan dimana si empunya, pria Senegal menjual berbagai kerajinan, dompet dan boneka afrika. Ia sibuk melayani pembeli. Ketika ia melintas ia mengambil sebuah dompet begitu saja dan melihatnya.
Si pembeli yang dilayani pria Senegal pergi, penjual itu beralih pada Davis dan tersenyum. Senyum itu belum pernah dijumpai Davis sebelumnya. “Satu-satunya penggambaran yang tepat adalah senyum itu dipenuhi cinta dan cahaya,” tuturnya. Davis ingat betul kata-kata yang diucapkan pria Senegal itu. “Hello brother, how are you,” (Halo saudara, apa kabar?) Davis menjawab, “Saya baik, terima kasih,”
Ia lalu melihat Davis lebih dekat sambil tetap tersenyum dan berkata, “Brother, apakah anda seorang Muslim?…anda seperti seorang Muslim.” Davis luar biasa terkejut dengan pertanyaan dan asumsi itu karena tak ada seorang pun pernah membuat asumsi macam itu sebelumnya dan ia baru saja membeli Al Qur’an dan membacanya beberapa malam lalu. “Sebelum itu saya tak tahu apa pun tentang Islam,” ungkap Davis.
Davis menjawab bahwa ia bukanlah Muslim namun ia baru saja membeli Al Qur’an malam lalu dan membaca sebagian. Dengan senyum kian lebar si pria Senegal itu mendekatinya dan memberinya pelukan dan berkata lagi dan lagi, “Oh saudaraku, ini sangat indah. Ini luar biasa saudaraku. Saya sangat bahagia untukmu saudaraku. Ini pertanda baik dari Allah saudaraku. Engkau telah membuatku sangat bahagia saudaraku.”
Davis tak pernah bertemu dengan siapa pun yang begitu tulus. “Saya sangat terkejut saat ia memanggil saya saudara dan tersenyum, memeluk dna berkata ia sangat bahagia,” tuturnya. Pria Senegal itu bernama Khadim.
Khadim berjalan kembali ke dagangannya dan bertanya apakah Davis bisa membantunya. Davis dengan enteng mengiyakan. Khadim berkata ia adalah Muslim sehingga harus shalat lima waktu sehari di waktu yang ditentukan dan saat itu telah masuk waktu shalat sehingga ia perlu pergi sesaat. Ia meminta tolong Davis untuk menjaga lapaknya dan barang-barangnya. Ia bahkan menunjukkan kotak uang dan bertanya apakah Davis bisa menjualkan barang-barang bila ia pergi sesaat, sehingga bila ada pembeli tertarik ia tak melewatkannya. Khadim memberi tahu harga-harga barang, setelah itu pergi.
Duduk di sana selama 30 menit menunggu Khadim, Davis bertanya-tanya, siapa pria ini. “Ia meninggalkan saya bersama uang tunai. Saya bisa saja membawa semua dan pergi, tak mungkin ia menangkap saya,” ungkap Davis. Ia lantas mulai berpikir mengapa ia tak cemas dengan uangnya. Apakah itu, mengapa begitu penting hingga harus meninggalkan uang bersama seorang asing?
Davis juga berpikir mengenai ibadah lima kali yang begitu penting sehingga ia tak bisa meninggalkannya bahkan lebih memilih meninggalkan barang miliknya. Davis teringat lagi bahwa ia sedang menginginkan sesuatu yang penting sehingga ia bisa melupakan masalahnya.
Pria Senegal itu kembali dengan wajah penuh cahaya. Ia memeluk Davis lagi dan terus berkata, “Terima kasih brother, terima kasih banyak.” “Saya seperti meledak. Saya bolos dua jam mata kuliah hanya agar bisa bersama denganya. Saya takut jika saya meninggalkan dirinya, saya tak bisa menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang ia bawa bersamanya.
Tak lama kemudia seorang pelajar Pakistan berjalan dan menyapanya dengan salam lalu beralih kepada Davis dan bertanya, “apakah kamu Muslim. Davis berkata, “Tidak, anda adalah orang kedua yang bertanya itu padasaya. Apa yang membuatmu bertanya itu?” Mahasiswa Pakista nitu menjawab, “Saya tidak tahu, anda terlihat seperti Muslim.”
“Saya terhenyak lagi. Saya bilang padanya bahwa saya baru saja membaca Al Qur’an dan ia ternyata seperti Khadim, sangat bahagia. Ia malah bertanya apakah saya pernah ke masjid sebelumnya. Saya jawab tidak. Ia bertanya lagi apakah saya mau berkunjung ke salah satu masjid besok. Saya bilang ya, saat itu saya sudah begitu jauh sangat ingin tahu, dan kami pun bertukar nomor telepon.
Pada siang hari berikutnya, Jumat, mahasiswa Pakistan itu datang dan menjemput Davis. Mereka pergi ke rumahnya. Ibu si mahasiswa menyiapkan makan siang dan mereka duduk di lantai. “Saya tak pernah sebelumnya duduk di lantai untuk makan namun hal ini tak terasa asing bagi saya sama sekali,” ungkap Davis. Setelah bersantap siang mereka berkendara menuju masjid (Asosiasi Komunitas Muslim/MCA) di Santa Clara, California.
Ketika ia berjalan ke masjid ada sekitar 40 pria berdri berbaris menunggu untuk meyapa Davis, mereka semua tersenyum dan menjabat tangan ketika ia berjalan. Mereka menyilahkan Davis duduk dan mereka pun melingkarinya.
Satu orang bertanya pada Davis apa yang ia tahu mengenai Islam. Ia pun mulai memaparkan kisahnya bagaimana ia pergi ke toko buku menjumpai dan membeli Al Qur’an dan seterusnya. Orang tersebut bertanya lagi apakah ia meyakini keberadaan Rasul Muhammad dan tanpa rasa berat Davis menjawab ya.
Ia ditanya lagi apakah Yesus adalah Tuhan ata anak Tuhan, lagi-lagi dengan tegas Davis menjawab tidak dan meyakini ia adalah nabi. Pria itu lalu menjelaskan mengenai keberadaan malaikat, kitab-kitab berbeda, wahyu dan hari kiamat, lalu firman Allah. Setelah menerangkan itu, ia bertanya apakah Davis mempercayai itu. Davis kembali dengan tegas berkata ya.
Pria itu berkata, “Ini adalah yang diyakini seorang Muslim dan anda meyakini hal yang sama, apakah kamu kemudian akan mau menjadi Muslim?”. Davis ingat ia pun menjawab pertanyaan itu dengan tegas, ringan tanpa beban, tanpa keengganan. Pria itu pun membantu Davis yang berjuang melafalkan syahadat dengan benar dan ia pun menjadi seorang Muslim tepat pada hari ke-17 bulan Ramadhan saat itu.
Davis pertama kali mendengar tentang Islam pada Rabu siang, membeli Al Qur’an pada Rabu malam, bertemu Khadim, si pria Senegal, pada Kamis yang kepadanya menunjukkan esensi sesungguhnya Islam, dengan perbuatan dan karakternya, lalu pergi ke masjid pada Jumat dan menjadi seorang Muslim.
Enam bulan setelah ia menjadi Muslim, ia bertemu lagi dengan Usama Canon yang terkejut dengan peralihannya. Ia pun memintanya menjelaskan Islam. Mereka pergi makan malam bersama dan berbincang mengenai agama. Hari berikutnya Davis giliran membawa Canon ke masjid dan ia mengucap syahadat lalu secara resmi menjadi Muslim. Ia adalah orang pertama yang memberi tahu Davis tentang Islam. “Saya seperti mendapat kehormatan membawanya ke masjid sehingga ia bisa menjadi Muslim,” tutur Davis.
“Bukanlah teologi atau debat keagamaan yang membawa saya ke Islam. Itu adalah musik, budaya, teman yang saya percaya dan orang asing yang tersenyum kepada saya. Ironisnya, justru budaya Arab yang pertama kali membuat saya tak ingin mencari tahu tentang Islam,” tutur Davis.
Setelah memeluk Islam, Davis malah menghabiskan waktu satu dekade meninggalkan budayanya–budaya yang justru menurut Davis telah mengarahkan ia pada Islam. Ia mulai mengadopsi budaya Arab sebagai budayanya.
Hingga suatu saat ia kembali ke akar budayanya sebagai seorang Amerika dan merekonsiliasi dengan statusnya sebagai Muslim. “Dalam cara yang sangat alami, cerminan alami karakter saya sendiri dan simbosis dengan keimanan saya sebagai Muslim.”
“Saya menulis kisah ini hari karena lima belas tahun setelah itu saya berlari ke arah Khadim sementara Usama Canon dan saya sedang berjalan bersama keluarga. Itu adalah kesempatan besar bisa bertemu lagi, seperti dua kesempatan untuk bertemu Usama dan Khadim lima belas tahun lalu. Saya mengambil foto dengannya hari ini, foto pertama saya bersamanya karena saya ingin menunjukkan pada orang-orang, inilah wajah pria yang memenangkan hati saya karena senyumnya yang tulus dan pribadinya yang baik.”
Catatan tambahan Davis
Istri saya telah mendengar kisah ini ratusan kali dan kemarin adalah pertama kali ia bertemu Khadim. Kami sedang keluar bersama Usama Canon dan keluarganya dan sepanjang pagi kami berbicara tentang Khadim serta pengaruh yang berikan kepada kehidupan kami berdua. Kami kecewa ketika pergi ke pasar loak dan ia tak berada di sana.
Ketika kami hendak meninggalkan area itu, Usama menunjuk dari kejauhan dan berkata, “lihat siapa yang barusan muncul.” Cukup jelas, itu Khadim membawa dagangannya untuk dijual. Ketika mata kami beradu, kami bertatapan cukup lama dan ia memberi saya senyum yang dulu pernah menusuk hati saya dengan cahaya 15 tahun lalu. Saya berbalik ke istri saya dan berkata, ‘itu dia senyumnya yang selalu saya ceritakan’. Ia tidak merespon…air matanya cukup memberi konfirmasi bahwa ia memahami betul apa yang saya maksud.
_republika_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar