Rahasia Permata Indah Khalifah Harun Al-rasyid
Rahasia Permata Indah Khalifah Harun Al-rasyid
Assalamualaikum warohmatulahi wabarokatuh
Sebahagian orang salih bercerita : Saya sudah lama tinggal di Baghdad.
Suatu hari ada sebuah rumah yang roboh dan perlu dibaiki secepatnya.
Saya pun pergi ke suatu tempat di mana biasanya terdapat para pekerja
yang menunggu pekerjaannya. Saya tiba di sana dan mencari-cari pekerja
yang rajin dan bagus.
Maka saya tertarik kepada seorang anak
berumur kira-kira dua belas tahun. la kelihatan tampan namun agak kurus
sedikit tubuhnya. Bila saya mengamat-amatinya dan ia pun bertanya:
"Adakah tuan memerlukan diriku untuk bekerja?" dia bertanya kepadaku.
"Benar, saya memerlukan tenaga untuk membantuku. Maukah engkau bekerja denganku pada hari ini?" Saya menjawab pertanyaanya.
"Saya bersedia untuk bekerja, tetapi dengan beberapa syarat," jawabnya.
"Syarat apakah itu?" tanyaku
"Gajiku dalam sehari satu dirham, dan bila datang waktu sholat,
izinkanlah saya sholat berjamaah, itulah syaratnya!" jawab anak muda
itu.
"Itu sajakah?"
"Saya, itu sahaja," jawabnya lagi.
"Baiklah, saya terima syarat itu," tegasku kepadanya.
Anak muda itu lalu bekerja dengan memuaskan, hasilnya cukup
menggembirakan. Dia tidak tahu mencuri tulang, atau mengelat dengan
mencuri masa. Di waktu pagi, bila saya berikannya makanan untuk sarapan,
ia menolak dengan alasan bahwa dia sedang berpuasa. Pada saat sholat
dzuhur, saya izinkan ia pergi berjamaah, kemudian ia kembali lagi untuk
meneruskan pekerjaannya sehingga menjelang waktu Asar, maka ia pun pergi
lagi untuk sholat Asar berjamaah pula, kemudian ia kembali lagi dan
bekerja lagi sampai menjelang waktu Maghrib. Saya lihat anak muda ini
bukan saja tekun dalan kerjanya, namun dia tidak berhenti bekerja,
melainkan sesudah masuk waktu Maghrib,di mana dia akan membuka puasanya.
Mana orang boleh tahan seperti itu. Sudahlah terus-menerus bekerja, dia
berpuasa pula.
Saya merasa kasihan kepadanya, lalu saya mendatanginya dan melarangnya bekerja, terlampau berat.
"Jangan bekerja terlalu berat dan sampal lewat Maghrib," kataku menyuruhnya berhenti bekerja.
Dia tersenyum, lalu menjawab: "Memang saya biasa bekerja sampai menjelang waktu Maghrib," jawabnya bersahaja.
"Bukan saya tak suka kau bekerja berat, tapi kasihanlah sedikit pada dirimu itu," saya menasihatinya.
"Terima kasih tuan," jawabnya lagi.
Setelah selesai kerjanya dia, terus mengerjakan sholat Maghrib.
Kemudian saya datang kepadanya dan menyerahkan gajinya, yaitu sebanyak
dua dirham, meskipun janji kita dulu hanya satu dirham.
"Mengapa dua dirham?" dia bertanyaku.
"Sebab engkau telah bekerja sampai malam, dan pekerjaanmu cukup
memuaskan dan bagus sekali, saya suka karena itu saya beri tambahan satu
dirham lagi," kataku kepadanya.
"Tidak boleh, kita harus menepati syarat yang telah kita setujui."
Saya heran mengapa dia tidak mau menerima upah yang lebih, kalau orang lain mesti dianggapnya bodoh.
"Tidak boleh, kau mesti ambil yang lebih ini!" perintahku dengan suara keras sedikit.
"Bukan saya tidak mau, tapi saya tak boleh menerimanya, kerana ini
adalah telah menyalahi syarat dan janji", jawab anak muda itu lagi.
Anak muda itu kemudian pergi dari situ dan meninggalkanku. Saya sudah
tidak perdulikannya lagi karena dia menolak juga tambahan yang saya
berikan kepadanya itu. Biarkanlah dia sudah, kata hatiku. Terserahlah.
Besok paginya, saya lihat dia tidak datang lagi untuk bekerja. Di mana
dia anak muda itu? Mengapa dia tidak datang?. Barangkali dia marah, bila
saya hendak memaksanya menerima upah yang lebih itu? Saya pun pergi
mencari di tempatnya yang semula, namun saya tidak menemukannya di situ.
Saya bertanya kepacta teman-temannya, maka saya telah diberitahu bahwa
anak muda itu hanya datang ke tempatnya pada hari Sabtu saja. Ajaib!
Kemana dia pergi hari-hari yang lainnya? Pada hari Sabtu yang berikutnya, saya kembali mencarinya lagi.
Memang benar, anak muda itu ada di tempatnya. Saya mengajaknya untuk
bekerja kembali dengan syarat yang sama seperti dahulu. Dia datang dan
bekerja dengan sungguh-sungguh dan giat, seperti sebelumnya, sekalipun
ia tetap dalam keadaan berpuasa. Bila saya bertanya kepadanya tentang
hari-hari lainnya, di mana dia? Dia enggan memberitahu dan saya tidak
mau memaksanya, mana tahu dia tidak suka.
Pada hari Sabtu
ketiga, saya datang mencarinya, di tempat itu, tetapi dia tidak ada
ditempat yang biasanya. Temannya memberitahuku bahwa ia sedang sakit di
sebuah gubuk yang ditumpangkan oleh orang. Saya merasa kasihan
kepadanya, bila mendengar dia sedang sakit. Orang dagang rupanya dia,
tidak punya rumah tetap. Saya pun pergi untuk menengoknya, dan saya
dapatinya sedang telentang di atas tanah tanpa tikar dan bantal. Semakin
sedih hatiku melihat keadaannya yang cukup miskin itu. Namun dia tetap
begitu juga, tidak terkesan oleh keadaannya yang sungguh menyayat hati
itu. Malah kelihatan wajahnya lebih bercahaya dari biasanya.
"Anakku!" kataku, "apa khabarmu?"
"Syukur Alhamdulillah, cuma saya sakit sedikit," jawabnya.
"Ada sesuatu yang perlu saya tolong?" saya menawarkan untuk membantu apa pun, jika dia mau.
"Ya, kebetulan sekali, memang ada," jawabnya lagi.
"Apa itu?" tanyaku
"Besok pagi di waktu dhuha datanglah ke mari, jika tuan dapati saya
sudah mati di sini, tolonglah mandikan saya, kemudian bungkuslah saya
dengan bajuku ini, lalu sholati saya dan kuburkanlah saya di tempat ini,
semua itu hendaklah tuan yang mengerjakannya sendirian saja! Setelah
itu robeklah saku baju saya ini, ambil isinya lalu pergilah ke istana
Khalifah Harun Ar-Rasyid, dan tunjukkan barang itu kepada beliau. Itulah
saja pesan saya kepada tuan. Dan jangan lupa menyampaikan salam saya
kepada beliau, dan semoga Allah membalas segala kebaikan tuan."
Mendengar keterangan anak muda itu, saya heran sekali. Siapa dia
sebenarnya kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid? Apa hubungannya dia dengan
Khalifah itu, sehingga kematiannya mesti dilaporkan kepada beliau?.
"Siapa sebenarnya anak ini?" tanyaku ingin keterangan.
"Saya hamba Allah!" jawabnya.
Saya terus memerhatikan wajahnya dengan penuh tanda-tanya. "Ingat, jangan lupa apa yang saya pesan tadi," tegasnya lagi.
"Baikiah!" jawabku pendek.
Kemudian saya pun pergi dari situ meninggalkannya. Pada pagi besoknya
saya pergi ke gubuk itu, ternyata memang benarlah anak muda itu telah
mati, wajahnya semakin bercahaya dan bibirnya pula tersenyum gembira.
Saya pun segera memandikannya dan membungkus mayatnya dengan bajunya, di
mana saya terlebih dulu merobek sakunya, dan saya dapati di dalamnya
ada sebuah permata besar, yang tentu sekali, sangat mahal harganya.
Sesudah itu saya mensholatinya dan menguburkannya berdekatan dengan
gubuk itu.
Kemudian saya tafakkur sebentar mengingatkan
pertemuan anak muda itu denganku, dan bagaimana jujurnya dia dalam
tindak-tanduknya. Tentulah dia seorang wali yang besar, yang ramai orang
tidak tahu. Kemudian saya pun meninggalkan tempat itu kembali ke
rumahku. Untuk beberapa hari saya memikirkan, bagaimana saya dapat
sampaikan barang amanat yang berharga itu kepada tuannya. Saya
fikir-fikir caranya, sehingga saya teringat bahawa Khalifah Harun
Ar-Rasyid kerap melalui suatu tempat untuk melihat-lihat sekitaran
pasar. Maka saya pun menunggu di situ beberapa hari, sehingga pada suatu
hari benarlah Khalifah Harun Ar-Rasyid sedang melalui di situ di atas
tunggangan kudanya.
"Tuanku!" jeritku. Semua pengawalnya terkejut dan mencoba menghadangku jangan sampai mendekat kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Mujur Khalifah menunjuk supaya saya dibenarkan datang menghampirinya.
"Tuanku! Saya ada suatu amanat untuk Tuanku," kataku dengan penuh
hormat.
"Apa itu ?" tanya Khalifah.
Kemudian saya pun
menunjukkan kepadanya permata itu. Melihat permata tersebut, dengan
tidak disangka-sangka lagi, Khalifah Harun Ar-Rasyid menjerit sekuat
tenaga, lalu pingsan.
Para pengawal sangat kaget saat melihat
Khalifahnya pingsan. Saya lalu ditangkap, nasib baik Khalifah segera
sadar, saya pun dilepaskannya lagi. Kemdian saya diperintah oleh
Khalifah untuk mengikutinya ke istana. Rupanya dia tidak jadi hendak
meneruskan pesiarannya. Tentulah perkara permata ini sangat penting
sekali bagi Khalifah itu.
Sesampai diistana kemudian saya ditanya oleh Khalifah: "Di mana kau dapat permata ini?"
"Hamba diberikan oleh seorang anak muda yang pernah bekerja dengan saya, Tuanku," jawabku dengan penuh hormat.
"Baiklah, di mana dia sekarang?" tanya Khalifah lagi.
"Dia sudah meninggal dunia, Tuanku," jawabku.
"Sudah meninggal dunia?!"
"Ya, Tuanku." jawabku.
"Innaa Lillaahi Wa Innaa llalhi Rajiuun," ucap Khalifah. "Benarkah?"
"Benar, Tuanku. Saya yang menyelenggarakan mayatnya," terangku dengan
takut dan bimbang, karena saya lihat Khalifah berubah mukanya menjadi
sedih.
"Aduh!" keluh Khalifah, kemudian dia menangis. Saya
tunduk takut dan bimbang sekali. Apa rahasia permata ini? janganlah
karenanya saya dihukum Khalifah pula. Nampaknya dia terlalu sedih itu.
Saya berdiam di situ tegak menunggu pertanyaan berikutnya, sedang
pengawal-pengawalnya mengelilingku menjaga jangan sampai saya mencoba
melarikan diri, agaknya.
Setelah Khalifah Harun Ar-Rasyid sudah tenang , lalu mengatakan kepadaku dengan suara rendah penuh sedih.
"Coba kau ceritakan kepadaku, bagaimana kau bisa menemui pemilik ini ?"
sambil menunjukkan kepada permata yang ditangannya itu.
Kemudin
saya pun menceritakan semua kejadian tentang anak muda itu dari awal
sampai akhir dan beliau mendengarkannya dengan tenang, dan kadang-kadang
mengalir air matanya.
Setelah selesai bercerita kepadanya, saya dengar katanya:
"Berbahagialah anakku! Ketahuilah, wahal anakku, aku sungguh menyesal atas apa yang berlaku ke atas dirimu!"
Kemudian Khalifah memanggil seseorang dari dalam istana itu. Tidak lama
kemudian datang seorang wanita yang agak setengah umur. Melihat saya
ada di situ, dia kemudian mengundurkan dirinya semula, tetapi Khalifah
Harun Ar-Rasyid mengisyaratkan supaya dia maju dan duduk di sampingnya.
Kemudian Khalifah menunjukkan permata itu.
Begitu ia melihat
permata itu, wanita itu pun menjerit dan jatuh pengsan. Setelah ia
sadar, kemudian ia bertanya:"Wahai paduka! Bagaiman paduka dapat permata
ini?" Khalifah lalu menoleh kepadaku seraya berkata: "Ceritakanlah apa
yang kau ceritakan kepadaku tadi!"
Saya pun menceritakaan
sekali lagi apa yang apa yang telah saya ceritakan pada khalifah tentang
anak muda itu, hingga selesai. Sambil mendengar ceritaku itu, wanita
itu terus menangis.
Kemudian wanita itu lalu menjerit: "Oh
anakku! Oh buah hatiku! Betapa rindu ibumu kepadamu selama ini. Oh
alangkah bahagianya aku, jika engkau berada di sampingku. Aku dapat
memberimu makan dan minum, dan aku dapat menjagamu, dan merawatmu.
Khalifah Harun Ar-Rasyid kemudian berkata kepadaku: "Terima kasih
banyak karena kau telah kembalikan amanat ini kepadaku. Bukan itu saja,
bahkan kau telah membawa berita ia kepadaku tentang anakku yang
menghilangkan diri itu. Dia adalah anakku yang sangat kusayangi,
demikian pula ibunya. la selalu mengunjungi para alim-ulama, para guru,
para cerdik pandai serta para salihin. Saat aku dinobatkan menjadi
Khalifah, ia tidak begitu suka, ia terus menjauhiku, kemudian melarikan
dirinya daripadaku.
Tetapi kerap pula dia datang kepada ibunya
untuk memberitakan hal dan keadaannya. Saya pernah memberikan permata
ini kepada ibunya untuk diserahkan kepadanya, supaya dijualkan bila
sewaktu-waktu dia memerlukan uang untuk hidupnya. Tetapi rupanya dia
simpan permata ini, dan kini dia kembalikan kepada kami. Bagaimana cara
kehidupannya kami tidak tahu. Kami juga tidak tahu tempat tinggalnya, di
kota, di rimba, di kampung mana, hanya Tuhan saja yang mengetahuinya.
Bertahun-tahun kami menunggunya kembali, tetapi hampa belaka. Kami ingin
dia datang menjenguk kami, walau sebentar saja, supaya kami dapat
melihat wajahnya, tetapi sekarang hanya beritanya saja yang sampai
kepada kami, dan berita itu pula berita yang menyedihkan. Rupanya dia
telah meninggalkan kami buat selama-lamanya!" Khalifah lalu menangis
sedih, dan saya pun turut menangis sama.
"Tuanku!! Anakmu itu
adalah seorang wali," saya ingin menggembirakan Khalifah. "Ya, memang ke
situlah ia menuju," jawab Khalifah. la bertafakur sebentar, kemudian
bertanya: "Tunjukkanlah kepadaku dimana kubur anakku itu? aku ingin
menziarahinya."
"Baiklah, Tuanku. Hamba bersedia menghantarkan Tuanku ke sana," jawabku.
Pada hari yang ditetapkan, saya pun mengantarkan Khalifah bersama
rombongannya ke kubur anaknya itu. Khalifah Harun Ar-Rasyid berdiri di
atas pusara anaknya dengan sedih dan mengalirkan air mata. Kemudian saya
pun meninggalkan mereka di situ dan kembali ke rumahku.
Sungguh kejadian itu meninggalkan kesan yang mendalam yang susah hendak
dilupakan di dalam hatiku. Saya lalu berdoa: "Ya Allah! Berilah kami
taufiq dan hidayah serta pertolonganmu dalam menjalani kehidupan di alam
fana ini, dan rahmatilah kami semuanya, sesungguhnya Engkau Maha
Mendengar Lagi Mengasihani!" Aamiin!
walallahu a'lam bishowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar