Jumat, 13 Juli 2012

kisah mualaf "Jason Cruz"


kisahmuallaf.com – “Alhamdulillah, saya mendapatkan hidayah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan masuk Islam sejak tahun 2006,” ujar Jazon Cruz, mengawali pembicaraan.
“Saya sebenarnya agak ragu, ketika diminta berkisah tentang jalan hidup yang saya tempuh, dan bagaimana saya mendapatkan hidayah Allah Subhanahu Wa Ta’ala,” sambungnya.
Wajar saja. Sebab, Cruz tak mau terjebak pada ketenaran semu sebagaimana yang terjadi pada sebagian orang, hanya karena mereka masuk Islam. Ia juga sadar, dirinya memiliki tantangan yang serupa. Apalagi mengingat statusnya sebagai seorang pendeta cukup kenamaan di kotanya.
“Namun, sekali lagi saya katakan, semoga saya tidak terjebak pada sikap riya karena memeluk agama yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala, menjauhkan sifat itu dari diri saya,” harapnya.
Oleh sebab itu, ketika dimintai laman www.islamreligion.com untuk menuturkan perjalanan hidupnya. Cruz meminta agar penekanan kisah hidupnya fokus pada ‘kerja’ Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberinya sejumput hidayah. “Sebab, siapa pun takkan mungkin masuk Islam dan tulus mengikuti ajaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, jika ia tidak mendapat hidayah Allah Subhanahu Wa Ta’ala,” ujarnya.
Jason Cruz lahir dalam keluarga Katolik Roma yang secara resmi tinggal di New York, AS. Sebenarnya, sang ibulah yang murni Katolik Roma. Sedangkan ayahnya seorang Presbiterian yang ‘terpaksa’ masuk Katolik hanya agar dapat menikahi sang bunda. “Kami selalu ke gereja tiap hari Minggu. Saya juga menjalani katekismus, komuni pertama, dan konfirmasi di Gereja Katolik Roma,” tuturnya.
Ketika masih belia, Cruz sudah merasa mendapat panggilan Tuhan. Panggilan ini ia tafsirkan sebagai panggilan imamat Katolik Roma. Ia pun mengungkapkannya pada sang bunda, “Ibu sangat bahagia mendengarnya, dan langsung mengajak saya untuk bertemu pastor di paroki setempat,” ungkapnya.
Sayangnya, si pastor tak terlalu senang diusik oleh kedatangan mereka. Ia bahkan menyarankan agar si bocah tidak terjun ke dunia imamat. Hal itu membuat Cruz sangat sedih. “Kejadian itu sangat menjengkelkan saya, bahkan hingga hari ini. Saya tak tahu bagaimana kondisinya akan berbeda, jika saja responsnya sedikit positif,” kata dia.
Sejak ditolak memenuhi seruan Tuhan di paroki tersebut, Cruz menjalani kehidupan yang lain; tenggelam dalam dunia malam. Apalagi, tak lama setelah kejadian di paroki, kedua orang tuanya bercerai. Cruz sangat kehilangan sosok ayah yang tak lagi hadir di dekatnya.
Sejak usia 15 tahunan, Cruz mulai lebih tertarik dengan klub malam ketimbang Tuhan.
Usai lulus SMA dengan nilai yang memuaskan, ia pun masuk universitas dengan mudah. Namun, karena targetnya hidupnya yang tak jelas dan tak menentu, Cruz pun drop out (DO) dari bangku kuliah.
Ia kemudian pindah ke Arizona—tempatnya menetap hingga kini—ketimbang menyelesaikan kuliah dan meraih gelar sarjana. “Inilah yang saya sesalkan hingga kini,” ujar Cruz. “Setelah tinggal di Arizona, kehidupannya saya malah jadi kian parah.”
Ia mulai mengenal narkoba dan kian tenggelam dalam dunia malam dan pergaulan bebas. Demi mendapatkan obat-obat terlarang—dengan pendidikan yang pas-pasan, Cruz rela menjalani pekerjaan kasar dan hina. “Kalau tidak begitu, saya tidak dapat menikmati narkoba, pergaulan bebas, dan dunia malam,” ujarnya.
Selama masa-masa kelam ini, Cruz sempat bertemu dan bergaul dengan orang Muslim. Si Muslim rupanya seorang mahasiswa asing yang kuliah di salah satu kampus di Arizona. “Dia mengencani salah seorang teman saya, dan kerap menemani kami ke pesta dan klub-klub malam,” ungkapnya.
Cruz dan si Muslim memang tidak pernah bicara soal agama, apalagi tentang Islam. Namun demikian, ia kerap bertanya tentang ajaran dan budaya Islam kepada si Muslim. Si Muslim dengan senang hati menceramahi Cruz tentang Islam, walau yang bersangkutan tidak menunjukkan diri sebagai Muslim sejati. “Apa yang dia katakan, sangat berbeda dengan apa yang ia lakukan,” kata Cruz.
Gaya hidup Cruz yang buruk berlanjut selama beberapa tahun. Ia pun sempat trauma, karena beberapa orang yang dikenalnya meninggal. Ia juga pernah ditikam dalam sebuah tawuran.
“Yang dapat saya katakan adalah walau bagaimana pun buruknya kondisi yang anda alami, Allah Subhanahu Wa Ta’ala pasti akan membalikkan keadaan anda, insya Allah,” kata dia. Saya segera berubah setelah benar-benar bersih dari narkoba. Salah satu bagian proses menjauhkan diri dari narkoba adalah dengan menjalin hubungan dengan yang Mahakuasa.”
Dalam upaya pencarian akan Tuhan ini, Cruz melewati sejumlah tahapan berliku sebelum mengenal Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sayang, ia tidak menemukan kebenaran (Allah Subhanahu Wa Ta’ala) pada awalnya. Sebaliknya, ia mencoba mempelajari Hinduisme karena dianggap dapat mengakhiri penderitaan yang ia alami.
Cruz begitu serius mendalami ajaran Hindu. Ia bahkan mengubah namanya dengan nama Hindu.
“Saat itu aku merasa terbebas dari kecanduan obat-obatan. Hidupku lebih positif. Tapi itu tidak bertahan lama, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menunjukan padaku bahwa Hindu bukanlah jalan menuju kebenaran hakiki,” kenang dia.
Meninggalkan ajaran Hindu, Cruz kembali pada agama Katolik Roma. Oleh gereja, ia ditawarkan untuk menjadi menetap di sebuah gereja di New Mexico. Bertepatan dengan tawaran itu, keluarganya—Ibu, kakak dan adiknya—memutuskan untuk pindah ke Arizona. Saat itu, ia mulai memiliki hubungan dekat dengan orang banyak.
Cruz pun mulai menjalani program seminari. Bertahun-tahun ia ikuti pogram tersebut sehingga akhirnya berhasil menjadi pastor. Ia ditugaskan gereja untuk mempelajari tradisi agama lain di daerah Metro Phoenix. “Peran baru saya adalah menjalin hubungan antaragama,” kata dia.
Sembari menjalankan tugasnya itu, Cruz juga menyambi sebagai pekerja di Biro Kesehatan Perilaku. Ia kunjungi sejumlah tempat ibadah agama lain, termasuk masjid. Dalam kunjungannya ke masjid, Cruz merasa ada kesempatan emas untuk belajar tentang Islam. Oleh seorang Muslim, ia diminta untuk mendatangi Masjid di Tempe, Arizona.
Sesampainya di masjid itu, Cruz segera membaca buku-buku tentang Islam. Setelah membaca, ia begitu terkejut. “Saya belum tahu, kalau rasa terkejutku itu merupakan bentuk hidayah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Saya pun kembali mengunjungi masjid itu dan banyak berdialog dengan Imam Ahmad Al-Akoum,” tuturnya.
Al-Akoum, adalah Direktur Regional Masyarakat Muslim Amerika. Ia seorang yang begitu terbuka bagi penganut agama lain untuk berdiskusi tentang Islam. Banyak warga AS yang mencari informasi tentang Islam dari Al-Akoum. “Mengikuti kelas bimbingan Akoum, saya melihat Islam adalah kebenaran hakiki. Beberapa waktu kemudian, saya mengucapkan dua kalimat syahadat di masjid yang sering saya kunjungi, Alhamdulillah,” kata dia.
Menjadi Muslim, Cruz banyak mengalami perubahan. Keluarganya sedih, sebab Cruz memeluk agama yang ditakuti anak-anaknya. Ia pun berusaha memberikan pemahaman yang baik tentang Islam kepada mereka.
Tidak mudah memang bagi Cruz untuk menjalani identitas barunya sebagai Muslim. Ia sempat mengalami stres, lalu memutuskan untuk kembali berdiskusi dengan Al-Akoum tentang masalah yang dialaminya. “Al-Akoum mengatakan padaku bahwa tahun pertama sebagai Muslim tentu merupakan masa yang paling sulit. Ia lalu menyarankan untuk banyak berkomunikasi dengan Muslim lainnya,” kata dia.
Benar saja, saran Al-Akoum itu membuat iman Cruz semakin mantap. Ia mulai mendapatkan pekerjaan, yakni sebagai manajer pada sebuah program pencegahan penyalahgunaan alkohol dan narkoba, serta HIV dan hepatitis untuk populasi berisiko.
Selama itu pula, Cruz mulai menikmati identitasnya sebagai Muslim. Ia sangat aktif menjadi sukarelawan. Bahkan, ia dinominasikan menjadi kepala Dewan Masjid Tempe. “Insya Allah, jika Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengizinkan, saya ingin mendalami ilmu fikih guna memajukan kepentingan Islam dan umat yang saya cintai. Semua ini adalah karunia Allah Subhanahu Wa Ta’ala,” pungkasnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar