Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Petunjuk Nabimu Tidak Boleh Diabaikan
Jika ada yang menanyakan, “Apakah makanan atau hewan yang diharamkan
hanya sebatas yang disebutkan dalam Al Qur’an?” Jawabannya, tidak hanya
terbatas dalam Al Qur’an saja. Karena kita pun diperintahkan untuk
mentaati perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi apa
yang Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam larang tetap kita jauhi. Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata,
فَعَلَيْنَا أَنْ نَتَّبِعَ الْكِتَابَ وَعَلَيْنَا أَنْ نَتَّبِعَ
الرَّسُولَ وَاتِّبَاعُ أَحَدِهِمَا هُوَ اتِّبَاعُ الْآخَرِ ؛ فَإِنَّ
الرَّسُولَ بَلَّغَ الْكِتَابَ وَالْكِتَابُ أَمْرٌ بِطَاعَةِ الرَّسُولِ .
وَلَا يَخْتَلِفُ الْكِتَابُ وَالرَّسُولُ أَلْبَتَّةَ كَمَا لَا
يُخَالِفُ الْكِتَابُ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Wajib bagi kita untuk mengikuti Al Qur’an, begitu pula wajib bagi
kita mengikuti petunjuk Rasul. Mengikuti salah satu dari keduanya (Al
Qur’an dan hadits Rasul), berarti mengikuti yang lainnya. Karena Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertugas untuk menyampaikan isi Al Qur’an.
Dalam Al Qur’an sendiri terdapat perintah untuk menaati Rasul. Perlu
juga dipahami bahwa Al Qur’an dan petunjuk Rasul sama sekali tidak
saling bertentangan sebagaimana halnya isi Al Qur’an tidak saling
bertentangan antara ayat satu dan ayat lainnya.”[1]
Kita dapat melihat bahwa dalam beberapa ayat, Allah memerintahkan untuk menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ayat pertama,
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
“
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS. Ali Imron: 32). Ayat ini menunjukkan dengan jelas kita harus menaati Rasul.
Ayat kedua,
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”
(QS. An Nur: 63). Ayat ini menunjukkan bahwa siapa saja yang
menyelisihi perintah Rasul akan mendapat ancaman. Hal ini menunjukkan
bahwa perintah beliau pun harus tetap diikuti.
Ayat ketiga,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka.” (QS. Al Ahzab: 36). Ayat ini menunjukkan orang mukmin tidak lagi punya pilihan jika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menetapkan hukumnya.
Ayat keempat,
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).” (QS. An Nisa’: 59). Ayat ini menunjukkan agar mengembalikan perselisihan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ayat kelima,
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
“
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian.”(QS. An Nisa’: 59). Ayat ini menunjukkan bahwa kita
diperintahkan untuk mengembalikan perselisihan kepada Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam dan di sini menunjukkan benarnya dan menunjukkan
konsekuensi dari keimanan.
Berbagai hadits pun menunjukkan untuk menaati Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits pertama,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ
الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“
Maka, hendaklah kalian berpegang dengan sunahku, sunah para
khalifah yang lurus dan mendapat petunjuk, berpegang teguhlah dengannya
dan gigitlah dengan gigi geraham.” (HR. Abu Daud no. 4607, At Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 42, Ahmad 4/126. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih)
Hadits kedua,
دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا
نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ
فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“
Biarkanlah apa yang aku tinggalkan untuk kalian, hanyasanya
orang-orang sebelum kalian binasa karena mereka gemar bertanya dan
menyelisihi nabi mereka, jika aku melarang kalian dari sesuatu maka
jauhilah, dan apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka
kerjakanlah semampu kalian” (HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337, dari Abu Hurairah)
Hadits ketiga,
أَلاَ إِنِّى أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلاَ يُوشِكُ
رَجُلٌ شَبْعَانُ عَلَى أَرِيكَتِهِ يَقُولُ عَلَيْكُمْ بِهَذَا
الْقُرْآنِ فَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَلاَلٍ فَأَحِلُّوهُ وَمَا
وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوهُ أَلاَ لاَ يَحِلُّ لَكُمْ
لَحْمُ الْحِمَارِ الأَهْلِىِّ وَلاَ كُلُّ ذِى نَابٍ مِنَ السَّبُعِ
وَلاَ لُقَطَةُ مُعَاهِدٍ إِلاَّ أَنْ يَسْتَغْنِىَ عَنْهَا صَاحِبُهَا
وَمَنْ نَزَلَ بِقَوْمٍ فَعَلَيْهِمْ أَنْ يَقْرُوهُ فَإِنْ لَمْ
يَقْرُوهُ فَلَهُ أَنْ يُعْقِبَهُمْ بِمِثْلِ قِرَاهُ
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al -Qur'an dan yang semisal
bersamanya (As Sunnah). Lalu ada seorang laki-laki yang dalam keadaan
kekenyangan duduk di atas kursinya berkata, "Hendaklah kalian berpegang
teguh dengan Al-Qur'an! Apa yang kalian dapatkan dalam Al-Qur'an dari
perkara halal maka halalkanlah. Dan apa yang kalian dapatkan dalam
Al-Qur'an dari perkara haram maka haramkanlah. Ketahuilah! Tidak
dihalalkan bagi kalian daging keledai jinak, daging binatang buas yang
bertaring dan barang temuan milik orang kafir mu'ahid (kafir dalam
janji perlindungan penguasa Islam, dan barang temuan milik muslim lebih
utama) kecuali pemiliknya tidak membutuhkannya. Dan barangsiapa
singgah pada suatu kaum hendaklah mereka menyediakan tempat, jika tidak
memberikan tempat hendaklah memberikan perlakukan sesuai dengan sikap
jamuan mereka." (HR. Abu Daud no. 4604. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini
shahih).
Perhatikan baik-baik kalimat yang kami garis bawahi dalam hadits
ketiga ini. Seakan-akan apa yang dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
benar-benar terjadi saat ini. Ternyata saat ini sebagian umat Islam
hanya mau mengambil apa yang telah disebutkan dalam Al Qur’an saja.
Sehingga karen anjing tidak disebut dalam Al Qur’an kalau itu haram,
maka mereka pun tidak mengharamkannya. Sungguh inilah bukti nubuwah Nabi
Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, “Allah Ta’ala telah memerintahkan kita
untuk menataati Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
diperintahakan untuk mengikuti petunjuk beliau secara mutlak dan dalam
perintah tersebut tidak dikaitkan dengan syarat apa pun. Oleh karena itu
mengikuti beliau sama halnya dengan mengikuti Al Qur’an. Sehingga
tidak boleh dikatakan, kita mau mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam asalkan bersesuaian dengan Al Qur’an. Sungguh perkataan semacam
ini adalah perkataan orang yang menyimpang.”[2]
Ringkasnya dari pembahasan dan dalil-dalil yang kami kemukakan:
Walaupun tidak ada larangan atau perintah dalam Al Qur’an, namun jika
Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan atau melarang, maka seruan beliau tetap harus dipatuhi.
Bukti Haramnya Anjing Dalam Hadits Nabawi
Berikut kami bawakan beberapa bukti tentang haramnya anjing dalam berbagai hadits Nabawi.
Pertama: Hadits yang menerangkan larangan memakan binatang yang bertaring dan taringnya digunakan untuk memangsa binatangnya.
Dari Abu Hurairah, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ
“
Setiap binatang buas yang bertaring, maka memakannya adalah haram.” (HR. Muslim no. 1933)
Dari Abi Tsa’labah, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ .
“
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan setiap hewan buas yang bertaring.” (HR. Bukhari no. 5530 dan Muslim no. 1932)
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ
ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنْ الطَّيْرِ
“
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang memakan setiap
binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai
kuku untuk mencengkeram.” (HR. Muslim no. 1934)
An Nawawi
rahimahullah mengatakan dalam Syarh Muslim,
قَالَ أَصْحَابنَا : الْمُرَاد بِذِي النَّاب مَا يُتَقَوَّى بِهِ وَيُصْطَاد
“Yang dimaksud dengan memiliki taring adalah –menurut ulama
Syafi’iyah-, taring tersebut digunakan untuk berburu (memangsa).”[3]
Dari definisi ini, anjing berarti termasuk dari hewan yang diharamkan
untuk dikonsumsi.
Kedua: Anjing termasuk hewan fasik yang boleh dibunuh.
Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِى الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ ، وَالْعَقْرَبُ ، وَالْحُدَيَّا ، وَالْغُرَابُ ، وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ
“
Ada lima jenis hewan fasiq (berbahaya) yang boleh dibunuh ketika
sedang ihram, yaitu tikus, kalajengking, burung rajawali, burung gagak
dan kalb aqur (anjing galak).” (HR. Bukhari no. 3314 dan Muslim no. 1198)
An Nawawi dalam Syarh Muslim menjelaskan, “Makna fasik dalam bahasa Arab adalah
al khuruj
(keluar). Seseorang disebut fasik apabila ia keluar dari perintah dan
ketaatan pada Allah Ta’ala. Lantas hewan-hewan ini disebut fasik karena
keluarnya mereka hanya untuk mengganggu dan membuat kerusakan di jalan
yang biasa dilalui hewan-hewan tunggangan. Ada pula ulama yang
menerangkan bahwa hewan-hewan ini disebut fasik karena mereka keluar
dari hewan-hewan yang diharamkan untuk dibunuh di tanah haram dan ketika
ihram.”[4]
Sedangkan yang dimaksud dengan “
kalb aqur” sebenarnya bukan maksudnya untuk anjing semata, inilah yang dikatakan oleh mayoritas ulama. Namun sebenarnya
kalb aqur
yang dimaksudkan adalah setiap hewan yang pemangsa (penerkam) seperti
binatang buas,macan, serigala, singa, dan lainnya. Inilah yang dikatakan
oleh Zaid bin Aslam, Sufyan Ats Tsauri, Ibnu ‘Uyainah, Imam Asy
Syafi’i, Imam Ahmad dan selainnya.[5]
Ketiga: Upah jual beli anjing adalah upah yang haram, sehingga anjing haram untuk dimakan.
Dari Abu Mas’ud Al Anshori, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِىِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ
“
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh melarang dari upah jual beli anjing, upah pelacur dan upah tukang ramal.” (HR. Bukhari no. 2237)
Dari Abu Az Zubair, ia berkata bahwa ia mengatakan pada Jabir bin
‘Abdillah mengenai upah jual beli anjing dan kucing. Jabir lantas
menjawab,
زَجَرَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ ذَلِكَ.
“
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dari upah jual beli anjing dan kucing.” (HR. Muslim no. 1569)
Perlu ingat pula kaedah, “
Jika Allah melarang memakan sesuatu, maka pasti upah hasil jual belinya haram.”
Dari Ibnu ‘Abbas, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَىْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ
“
Sungguh jika Allah mengharamkan suatu kaum untuk mengkonsumsi sesuatu, Allah pun melarang upah hasil penjualannya.” (HR. Abu Daud no. 3488 dan Ahmad 1/247. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih)
Dari sini jelaslah pula haramnya jual beli anjing karena anjing itu haram untuk dimakan.
Keliru Dalam Memahami Surat Al An’am Ayat 145
Sebagian orang salah dalam memahami surat Al An’am ayat 145 berikut,
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ
يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ
لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ
بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ
رَحِيمٌ
“
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging
babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang
disembelih atas nama selain Allah.” Kesimpulan mereka bahwa yang
diharamkan hanyalah yang disebutkan dalam ayat ini saja. Berikut kami
bawakan sanggahan dari ulama besar yang hidup 200 tahun silam, Muhammad
bin ‘Ali Asy Syaukani
rahimahullah (terkenal dengan Imam Asy Syaukani). Ketika menafsirkan surat Al An’am ayat 145 dalam
Fathul Qodir, beliau memberikan penjelasan yang berisi sanggahan yang sangat bagus terhadap pendapat semacam tadi:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengabarkan pada mereka bahwa
tiadalah ia peroleh dalam wahyu sesuatu yang diharamkan kecuali yang
disebutkan dalam ayat ini. Maka ayat ini menunjukkan bahwa yang
diharamkan sebatas yang disebutkan dalam ayat ini seandainya ayat ini
adalah Makiyah. Namun setelah surat ini, turunlah surat Al Maidah (ayat
3) di Madinah dan ditambahkan lagi hal-hal lain yang diharamkan selain
yang disebutkan dalam ayat ini. Seperti yang disebutkan terlarang
adalah
al munkhoniqoh (hewan yang mati dalam keadaan tercekik),
al mawquudzah (hewan yang mati karena dipukul dengan tongkat),
al mutaroddiyah (hewan yang mati karena lompat dari tempat yang tinggi), dan
an nathihah (hewan yang mati karena ditanduk). Juga disebutkan dari sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengenai haramnya setiap binatang buasa yang bertaring dan setiap
burung yang memiliki cakar (untuk menerkam mangsa). Begitu juga
disebutkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai haramnya
keledai piaraan, anjing dan lainnya.
Secara global (yang dimaksud surat Al An’am ayat 145), keumuman yang
ada berlaku jika kita lihat dari hewan yang dimakan sebagaimana yang
dimaksudkan dalam konteks ayat dan terdapat nantinya istitsna’
(pengecualian). Namun hewan-hewan yang mengalami pengecualian sehingga
dihukumi haram tetap perlu kita tambahkan dengan melihat dalil lainnya
dari Al Quran dan As Sunnah yang menunjukkan masih ada hewan lain yang
diharamkan. Tetapi kenyataannya diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu
‘Umar, dan ‘Aisyah, mereka menyatakan bahwa tidak ada hewan yang haram
kecuali yang disebutkan dalam surat Al An’am ayat 145. Imam Malik pun
berpendapat demikian. Namun ini adalah
pendapat yang sangat-sangat lemah.
Karena ini sama saja mengabaikan pelarangan hewan lainnya setelah
turunnya surat Al An’am ayat 145. Pendapat ini juga sama saja meniadakan
hewan-hewan yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai hewan yang haram untuk dimakan, yang beliau menyebutkan hal
tersebut setelah turunnya surat Al An’am ayat 145. Peniadaan yang
dilakukan oleh mereka-mereka tadi tanpa adanya sebab dan tanpa ada
indikator yang menunjukkan diharuskannya peniadaan tersebut.”[6]
Ringkasnya, pendapat yang menyatakan bahwa yang diharamkan hanyalah
yang disebutkan dalam surat Al An’am ayat 145 adalah pendapat yang lemah
dilihat dari beberapa sisi:
- Pengecualian dalam ayat tersebut mesti melihat dari dalil lain dalam Al Quran dan Hadits Nabawi.
- Dalam surat Al Maidah ayat 3 masih disebutkan adanya hewan tambahan yang diharamkan.
- Dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga disebutkan
adanya hewan lain yang diharamkan yang tidak disebutkan dalam Al
Quran semacam keledai piaraan, anjing, dan binatang buas yang
bertaring.
- Kalau ini dikatakan sebagai pendapat Ibnu ‘Abbas, maka perlu
ditinjau ulang karena Ibnu ‘Abbas meriwayatkan hadits mengenai
terlarangnya binatang buas yang bertaring. Ibnu ‘Abbas mengatakan,
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang memakan setiap
binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang
mempunyai kuku untuk mencengkeram.” (HR. Muslim no. 1934)
- Sebagian ulama katakan bahwa surat Al An’am ayat 145 telah dinaskh (dihapus) dengan surat Al Maidah ayat 3.[7]
Semoga pembahasan ini bisa meluruskan kekeliruan yang selama ini ada. Hanya Allah yang beri taufik.
Artikel copas dari
www.rumaysho.com
Diselesaikan di Pangukan-Sleman, 29 Rabi’ul Akhir 1431 H (13/04/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal