Kamis, 30 Agustus 2012
Rahasia Permata Indah Khalifah Harun Al-rasyid
Rahasia Permata Indah Khalifah Harun Al-rasyid
Assalamualaikum warohmatulahi wabarokatuh
Sebahagian orang salih bercerita : Saya sudah lama tinggal di Baghdad.
Suatu hari ada sebuah rumah yang roboh dan perlu dibaiki secepatnya.
Saya pun pergi ke suatu tempat di mana biasanya terdapat para pekerja
yang menunggu pekerjaannya. Saya tiba di sana dan mencari-cari pekerja
yang rajin dan bagus.
Maka saya tertarik kepada seorang anak
berumur kira-kira dua belas tahun. la kelihatan tampan namun agak kurus
sedikit tubuhnya. Bila saya mengamat-amatinya dan ia pun bertanya:
"Adakah tuan memerlukan diriku untuk bekerja?" dia bertanya kepadaku.
"Benar, saya memerlukan tenaga untuk membantuku. Maukah engkau bekerja denganku pada hari ini?" Saya menjawab pertanyaanya.
"Saya bersedia untuk bekerja, tetapi dengan beberapa syarat," jawabnya.
"Syarat apakah itu?" tanyaku
"Gajiku dalam sehari satu dirham, dan bila datang waktu sholat,
izinkanlah saya sholat berjamaah, itulah syaratnya!" jawab anak muda
itu.
"Itu sajakah?"
"Saya, itu sahaja," jawabnya lagi.
"Baiklah, saya terima syarat itu," tegasku kepadanya.
Anak muda itu lalu bekerja dengan memuaskan, hasilnya cukup
menggembirakan. Dia tidak tahu mencuri tulang, atau mengelat dengan
mencuri masa. Di waktu pagi, bila saya berikannya makanan untuk sarapan,
ia menolak dengan alasan bahwa dia sedang berpuasa. Pada saat sholat
dzuhur, saya izinkan ia pergi berjamaah, kemudian ia kembali lagi untuk
meneruskan pekerjaannya sehingga menjelang waktu Asar, maka ia pun pergi
lagi untuk sholat Asar berjamaah pula, kemudian ia kembali lagi dan
bekerja lagi sampai menjelang waktu Maghrib. Saya lihat anak muda ini
bukan saja tekun dalan kerjanya, namun dia tidak berhenti bekerja,
melainkan sesudah masuk waktu Maghrib,di mana dia akan membuka puasanya.
Mana orang boleh tahan seperti itu. Sudahlah terus-menerus bekerja, dia
berpuasa pula.
Saya merasa kasihan kepadanya, lalu saya mendatanginya dan melarangnya bekerja, terlampau berat.
"Jangan bekerja terlalu berat dan sampal lewat Maghrib," kataku menyuruhnya berhenti bekerja.
Dia tersenyum, lalu menjawab: "Memang saya biasa bekerja sampai menjelang waktu Maghrib," jawabnya bersahaja.
"Bukan saya tak suka kau bekerja berat, tapi kasihanlah sedikit pada dirimu itu," saya menasihatinya.
"Terima kasih tuan," jawabnya lagi.
Setelah selesai kerjanya dia, terus mengerjakan sholat Maghrib.
Kemudian saya datang kepadanya dan menyerahkan gajinya, yaitu sebanyak
dua dirham, meskipun janji kita dulu hanya satu dirham.
"Mengapa dua dirham?" dia bertanyaku.
"Sebab engkau telah bekerja sampai malam, dan pekerjaanmu cukup
memuaskan dan bagus sekali, saya suka karena itu saya beri tambahan satu
dirham lagi," kataku kepadanya.
"Tidak boleh, kita harus menepati syarat yang telah kita setujui."
Saya heran mengapa dia tidak mau menerima upah yang lebih, kalau orang lain mesti dianggapnya bodoh.
"Tidak boleh, kau mesti ambil yang lebih ini!" perintahku dengan suara keras sedikit.
"Bukan saya tidak mau, tapi saya tak boleh menerimanya, kerana ini
adalah telah menyalahi syarat dan janji", jawab anak muda itu lagi.
Anak muda itu kemudian pergi dari situ dan meninggalkanku. Saya sudah
tidak perdulikannya lagi karena dia menolak juga tambahan yang saya
berikan kepadanya itu. Biarkanlah dia sudah, kata hatiku. Terserahlah.
Besok paginya, saya lihat dia tidak datang lagi untuk bekerja. Di mana
dia anak muda itu? Mengapa dia tidak datang?. Barangkali dia marah, bila
saya hendak memaksanya menerima upah yang lebih itu? Saya pun pergi
mencari di tempatnya yang semula, namun saya tidak menemukannya di situ.
Saya bertanya kepacta teman-temannya, maka saya telah diberitahu bahwa
anak muda itu hanya datang ke tempatnya pada hari Sabtu saja. Ajaib!
Kemana dia pergi hari-hari yang lainnya? Pada hari Sabtu yang berikutnya, saya kembali mencarinya lagi.
Memang benar, anak muda itu ada di tempatnya. Saya mengajaknya untuk
bekerja kembali dengan syarat yang sama seperti dahulu. Dia datang dan
bekerja dengan sungguh-sungguh dan giat, seperti sebelumnya, sekalipun
ia tetap dalam keadaan berpuasa. Bila saya bertanya kepadanya tentang
hari-hari lainnya, di mana dia? Dia enggan memberitahu dan saya tidak
mau memaksanya, mana tahu dia tidak suka.
Pada hari Sabtu
ketiga, saya datang mencarinya, di tempat itu, tetapi dia tidak ada
ditempat yang biasanya. Temannya memberitahuku bahwa ia sedang sakit di
sebuah gubuk yang ditumpangkan oleh orang. Saya merasa kasihan
kepadanya, bila mendengar dia sedang sakit. Orang dagang rupanya dia,
tidak punya rumah tetap. Saya pun pergi untuk menengoknya, dan saya
dapatinya sedang telentang di atas tanah tanpa tikar dan bantal. Semakin
sedih hatiku melihat keadaannya yang cukup miskin itu. Namun dia tetap
begitu juga, tidak terkesan oleh keadaannya yang sungguh menyayat hati
itu. Malah kelihatan wajahnya lebih bercahaya dari biasanya.
"Anakku!" kataku, "apa khabarmu?"
"Syukur Alhamdulillah, cuma saya sakit sedikit," jawabnya.
"Ada sesuatu yang perlu saya tolong?" saya menawarkan untuk membantu apa pun, jika dia mau.
"Ya, kebetulan sekali, memang ada," jawabnya lagi.
"Apa itu?" tanyaku
"Besok pagi di waktu dhuha datanglah ke mari, jika tuan dapati saya
sudah mati di sini, tolonglah mandikan saya, kemudian bungkuslah saya
dengan bajuku ini, lalu sholati saya dan kuburkanlah saya di tempat ini,
semua itu hendaklah tuan yang mengerjakannya sendirian saja! Setelah
itu robeklah saku baju saya ini, ambil isinya lalu pergilah ke istana
Khalifah Harun Ar-Rasyid, dan tunjukkan barang itu kepada beliau. Itulah
saja pesan saya kepada tuan. Dan jangan lupa menyampaikan salam saya
kepada beliau, dan semoga Allah membalas segala kebaikan tuan."
Mendengar keterangan anak muda itu, saya heran sekali. Siapa dia
sebenarnya kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid? Apa hubungannya dia dengan
Khalifah itu, sehingga kematiannya mesti dilaporkan kepada beliau?.
"Siapa sebenarnya anak ini?" tanyaku ingin keterangan.
"Saya hamba Allah!" jawabnya.
Saya terus memerhatikan wajahnya dengan penuh tanda-tanya. "Ingat, jangan lupa apa yang saya pesan tadi," tegasnya lagi.
"Baikiah!" jawabku pendek.
Kemudian saya pun pergi dari situ meninggalkannya. Pada pagi besoknya
saya pergi ke gubuk itu, ternyata memang benarlah anak muda itu telah
mati, wajahnya semakin bercahaya dan bibirnya pula tersenyum gembira.
Saya pun segera memandikannya dan membungkus mayatnya dengan bajunya, di
mana saya terlebih dulu merobek sakunya, dan saya dapati di dalamnya
ada sebuah permata besar, yang tentu sekali, sangat mahal harganya.
Sesudah itu saya mensholatinya dan menguburkannya berdekatan dengan
gubuk itu.
Kemudian saya tafakkur sebentar mengingatkan
pertemuan anak muda itu denganku, dan bagaimana jujurnya dia dalam
tindak-tanduknya. Tentulah dia seorang wali yang besar, yang ramai orang
tidak tahu. Kemudian saya pun meninggalkan tempat itu kembali ke
rumahku. Untuk beberapa hari saya memikirkan, bagaimana saya dapat
sampaikan barang amanat yang berharga itu kepada tuannya. Saya
fikir-fikir caranya, sehingga saya teringat bahawa Khalifah Harun
Ar-Rasyid kerap melalui suatu tempat untuk melihat-lihat sekitaran
pasar. Maka saya pun menunggu di situ beberapa hari, sehingga pada suatu
hari benarlah Khalifah Harun Ar-Rasyid sedang melalui di situ di atas
tunggangan kudanya.
"Tuanku!" jeritku. Semua pengawalnya terkejut dan mencoba menghadangku jangan sampai mendekat kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Mujur Khalifah menunjuk supaya saya dibenarkan datang menghampirinya.
"Tuanku! Saya ada suatu amanat untuk Tuanku," kataku dengan penuh
hormat.
"Apa itu ?" tanya Khalifah.
Kemudian saya pun
menunjukkan kepadanya permata itu. Melihat permata tersebut, dengan
tidak disangka-sangka lagi, Khalifah Harun Ar-Rasyid menjerit sekuat
tenaga, lalu pingsan.
Para pengawal sangat kaget saat melihat
Khalifahnya pingsan. Saya lalu ditangkap, nasib baik Khalifah segera
sadar, saya pun dilepaskannya lagi. Kemdian saya diperintah oleh
Khalifah untuk mengikutinya ke istana. Rupanya dia tidak jadi hendak
meneruskan pesiarannya. Tentulah perkara permata ini sangat penting
sekali bagi Khalifah itu.
Sesampai diistana kemudian saya ditanya oleh Khalifah: "Di mana kau dapat permata ini?"
"Hamba diberikan oleh seorang anak muda yang pernah bekerja dengan saya, Tuanku," jawabku dengan penuh hormat.
"Baiklah, di mana dia sekarang?" tanya Khalifah lagi.
"Dia sudah meninggal dunia, Tuanku," jawabku.
"Sudah meninggal dunia?!"
"Ya, Tuanku." jawabku.
"Innaa Lillaahi Wa Innaa llalhi Rajiuun," ucap Khalifah. "Benarkah?"
"Benar, Tuanku. Saya yang menyelenggarakan mayatnya," terangku dengan
takut dan bimbang, karena saya lihat Khalifah berubah mukanya menjadi
sedih.
"Aduh!" keluh Khalifah, kemudian dia menangis. Saya
tunduk takut dan bimbang sekali. Apa rahasia permata ini? janganlah
karenanya saya dihukum Khalifah pula. Nampaknya dia terlalu sedih itu.
Saya berdiam di situ tegak menunggu pertanyaan berikutnya, sedang
pengawal-pengawalnya mengelilingku menjaga jangan sampai saya mencoba
melarikan diri, agaknya.
Setelah Khalifah Harun Ar-Rasyid sudah tenang , lalu mengatakan kepadaku dengan suara rendah penuh sedih.
"Coba kau ceritakan kepadaku, bagaimana kau bisa menemui pemilik ini ?"
sambil menunjukkan kepada permata yang ditangannya itu.
Kemudin
saya pun menceritakan semua kejadian tentang anak muda itu dari awal
sampai akhir dan beliau mendengarkannya dengan tenang, dan kadang-kadang
mengalir air matanya.
Setelah selesai bercerita kepadanya, saya dengar katanya:
"Berbahagialah anakku! Ketahuilah, wahal anakku, aku sungguh menyesal atas apa yang berlaku ke atas dirimu!"
Kemudian Khalifah memanggil seseorang dari dalam istana itu. Tidak lama
kemudian datang seorang wanita yang agak setengah umur. Melihat saya
ada di situ, dia kemudian mengundurkan dirinya semula, tetapi Khalifah
Harun Ar-Rasyid mengisyaratkan supaya dia maju dan duduk di sampingnya.
Kemudian Khalifah menunjukkan permata itu.
Begitu ia melihat
permata itu, wanita itu pun menjerit dan jatuh pengsan. Setelah ia
sadar, kemudian ia bertanya:"Wahai paduka! Bagaiman paduka dapat permata
ini?" Khalifah lalu menoleh kepadaku seraya berkata: "Ceritakanlah apa
yang kau ceritakan kepadaku tadi!"
Saya pun menceritakaan
sekali lagi apa yang apa yang telah saya ceritakan pada khalifah tentang
anak muda itu, hingga selesai. Sambil mendengar ceritaku itu, wanita
itu terus menangis.
Kemudian wanita itu lalu menjerit: "Oh
anakku! Oh buah hatiku! Betapa rindu ibumu kepadamu selama ini. Oh
alangkah bahagianya aku, jika engkau berada di sampingku. Aku dapat
memberimu makan dan minum, dan aku dapat menjagamu, dan merawatmu.
Khalifah Harun Ar-Rasyid kemudian berkata kepadaku: "Terima kasih
banyak karena kau telah kembalikan amanat ini kepadaku. Bukan itu saja,
bahkan kau telah membawa berita ia kepadaku tentang anakku yang
menghilangkan diri itu. Dia adalah anakku yang sangat kusayangi,
demikian pula ibunya. la selalu mengunjungi para alim-ulama, para guru,
para cerdik pandai serta para salihin. Saat aku dinobatkan menjadi
Khalifah, ia tidak begitu suka, ia terus menjauhiku, kemudian melarikan
dirinya daripadaku.
Tetapi kerap pula dia datang kepada ibunya
untuk memberitakan hal dan keadaannya. Saya pernah memberikan permata
ini kepada ibunya untuk diserahkan kepadanya, supaya dijualkan bila
sewaktu-waktu dia memerlukan uang untuk hidupnya. Tetapi rupanya dia
simpan permata ini, dan kini dia kembalikan kepada kami. Bagaimana cara
kehidupannya kami tidak tahu. Kami juga tidak tahu tempat tinggalnya, di
kota, di rimba, di kampung mana, hanya Tuhan saja yang mengetahuinya.
Bertahun-tahun kami menunggunya kembali, tetapi hampa belaka. Kami ingin
dia datang menjenguk kami, walau sebentar saja, supaya kami dapat
melihat wajahnya, tetapi sekarang hanya beritanya saja yang sampai
kepada kami, dan berita itu pula berita yang menyedihkan. Rupanya dia
telah meninggalkan kami buat selama-lamanya!" Khalifah lalu menangis
sedih, dan saya pun turut menangis sama.
"Tuanku!! Anakmu itu
adalah seorang wali," saya ingin menggembirakan Khalifah. "Ya, memang ke
situlah ia menuju," jawab Khalifah. la bertafakur sebentar, kemudian
bertanya: "Tunjukkanlah kepadaku dimana kubur anakku itu? aku ingin
menziarahinya."
"Baiklah, Tuanku. Hamba bersedia menghantarkan Tuanku ke sana," jawabku.
Pada hari yang ditetapkan, saya pun mengantarkan Khalifah bersama
rombongannya ke kubur anaknya itu. Khalifah Harun Ar-Rasyid berdiri di
atas pusara anaknya dengan sedih dan mengalirkan air mata. Kemudian saya
pun meninggalkan mereka di situ dan kembali ke rumahku.
Sungguh kejadian itu meninggalkan kesan yang mendalam yang susah hendak
dilupakan di dalam hatiku. Saya lalu berdoa: "Ya Allah! Berilah kami
taufiq dan hidayah serta pertolonganmu dalam menjalani kehidupan di alam
fana ini, dan rahmatilah kami semuanya, sesungguhnya Engkau Maha
Mendengar Lagi Mengasihani!" Aamiin!
walallahu a'lam bishowab
Rabu, 29 Agustus 2012
Pentingnya Menjaga Lisan
Lisan
"Dikisahkan bahwa terdapat seorang Raja yang memiliki pelayan penuh hikmah. Pada suatu hari ia memerintahkan pelayannya untuk membeli bagian terbaik dari kambing untuk menunya kali ini. Maka pelayan tersebut membelikan lidah kambing."
Kemudian, sang Raja kembali memerintahkan pelayannya untuk membeli bagian terburuk dari kambing, maka pelayan itu kembali dengan membawa lidah kambing.
Sang Raja terkejut dan bertanya kepada pelayannya, “Aku memerintahkanmu untuk membeli bagian terbaik dari kambing, engkau membawakanku lidahnya, dan aku memerintahkanmu untuk membeli bagian terburuk dari kambing, dan engkau pun kembali membawakanku lidahnya. Apa maksud dengan semua ini?”
Pelayan itu pun menjawab, “Lidah adalah bagian terbaik dari makhluq karena ia adalah kunci dari segala bentuk hikmah dan ilmu. Dan lidah adalah bagian terburuk dari makhluq karena ia adalah sumber segala bentuk kerusakan, asal dari berbagai keburukan, penyebab kedengkian dan hasad, serta menjadi penyebab dari peperangan yang terjadi di kalangan para raja dan penguasa.”[1]
Sang Raja begitu takjub mendengar penjelasan dari pelayannya tersebut, tak terasa meleleh butiran air mata membasahi pipinya. Dari pelayannya ia belajar, bahwa lidah, bila digunakan oleh manusia di atas jalan kebaikan, hasilnya pun berupa kebaikan. Sedangkan bila lidah digunakan di atas jalan keburukan, hasilnya pun berupa keburukan.
Karenanya, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam…” (Muttafaqun ‘Alayh)
Sudah sepatutnya kita belajar mengendalikan lisan kita. Sungguh, tidak ada senjata yang lebih tajam daripada lisan. Sehingga Al Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma lebih senang dicela oleh kebanyakan manusia karena banyak diam, daripada harus banyak berkata-kata untuk mendapatkan pujian. Saat ditanyakan kepadanya, mengapa ia lebih banyak diam, Al Hasan menjawab, “Sungguh aku mendapati lisanku bagaikan pedang, bila aku berbicara tentang sesuatu yang tidak memiliki manfaat di dalamnya, pedang itu menebasku…”
Ibnul Qayyim dalam Al Jawaabul Kaafi mengatakan, “Hendaknya seseorang tidak mengucapkan sepatah kata pun, kecuali kata-kata yang di dalamnya terdapat keuntungan dan manfaat bagi agamanya. Sebelum mengucapkan sesuatu, hendaklah memikirkan, apakah di dalamnya terdapat keuntungan dan manfaat atau tidak ada? Bila ternyata ucapan tersebut tidak memiliki keuntungan atau faidah, maka diamlah. Namun bila telah yakin bahwa ucapan tersebut bermanfaat, hendaklah ia kembali berpikir ulang, adakah kata-kata lain yang lebih bermanfaat dari ucapan tersebut? Bila ada, segera ganti dengan kata-kata yang lain itu.”[2]
Belajar diam merupakan bagian dari belajar mengekang hawa nafsu, karena kebanyakan kata yang terucap hanyalah berasal dari hawa nafsu belaka. Karenanya, para tabi’in tidak dengan serta merta banyak menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, walaupun ia memiliki kapasitas keilmuan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hal ini dilakukan sebagai upaya pengekangan terhadap hawa nafsu yang terus mendorong seseorang untuk berbicara.
Al Imam Abu Hanifah pernah berkata kepada salah seorang muridnya, Daud Ath Tha’i, “Wahai Abu Sulaiman sesungguhnya perangkat ilmu telah aku berikan.” Daud berkata, “Lalu, apa lagi yang tersisa?” Abu Hanifah menjawab, “Tinggal mengamalkannya.”
Daud berkata, “Nafsuku mendorongku untuk keluar dari majlis beliau (Abu Hanifah) dan membuka majlis baru. Maka aku berkata kepada nafsuku, “Tidak. Hingga kamu tetap duduk bersama mereka dan tidak menjawab satu pertanyaan pun.”
Maka, ia pun tetap bersama mereka selama satu tahun sebelum membuka kajian sendiri. Ia berkata, “Banyak pertanyaan yang datang dan aku mengekang ambisiku untuk menjawab lebih dari hasrat seorang yang kehausan air, dan aku tetap tidak menjawabnya. Kemudian setelah itu aku menyendiri dari mereka untuk membuka kajian sendiri.”[3]
Lihatlah bagaimana salafush shalih senantiasa melawan keinginan hawa nafsunya untuk senantiasa mengucapkan kata-kata yang tidak bermanfaat. Bahkan, Abdullah bin Abi Zakaria telah meletakkan batu di dalam mulutnya untuk belajar diam.[4] Dan Abdullah melakukan hal tersebut selama 20 tahun, sampai ia bisa mengendalikannya![5]
Meninggalkan ucapan atau perbuatan yang tidak berguna merupakan tolok ukur baik tidaknya keislaman seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda :
“Di antara ciri kebaikan keislaman seseorang adalah ia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi)
Rasulullah pun telah mengabarkan kepada kita bahwa kebanyakan manusia yang masuk neraka disebabkan oleh dua hal : lisan dan farj (kemaluan).[6] Karenanya tidak salah bila menikah merupakan separuh diin. Hal ini dikarenakan orang yang menikah telah menutup 1 dari dua pintu menuju neraka. Selanjutnya adalah tinggal bagaimana ia menutup pintu yang kedua: pintu lisan.
Menjaga lisan dari ucapan yang tidak berguna memang sulit. Begitu mudahnya kata-kata mengalir keluar, bahkan tanpa kita sadari. Padahal, sebagian ulama salaf telah menegaskan : “Tidak berguna seluruh ucapan anak Adam, kecuali dzikrullah.” [7] Sungguh, amat beruntung seorang yang telah berhasil menjaga lisannya. Karena hal tersebut menunjukkan kelurusan iman di dalam hatinya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, dari Anas bin Malik :
“Tidak lurus iman seorang hamba hingga lurus hatinya,dan tidak lurus hati seorang hamba hingga lurus lisannya.” (HR. Ahmad)
[1] Lihat Silsilah Ta’limil Lughatil ‘Arabiyah; Al Qira’ah Mustawa Tsalits hal. 22-24
[2] Al Jawabul Kaafi : 171
[3] Hilyatul Aulia : 7/342
[4] Hilyatul Aulia : 5/125
[5] Shifatush Shafwah : 4/431
[6] Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, dan Tirmidzi dari Abu Hurayrah.
[7] Al Jawabul Kafi : 170
Perampok ini Masuk Islam Setelah Merampok Toko Muslim Amerika
Ini
kisah nyata dan terjadi di Amerika. Seorang pemilik toko yang sedang
menjaga tokonya masuk dalam tajuk utama pemberitaan di berbagai media
masa dan elektronik setelah pertemuan tidak terduga dengan seorang
perampok yang bersenjatakan pemukul baseball masuk ke tokonya. Uniknya,
dalam kejadian tersebut sang perampok kemudian akhirnya masuk Islam
ditangan si pemilik toko tersebut.
Muhammad Sohail, 47, kala itu tengah
bersiap untuk menutup tokonya tepat pada tengah malam ketika tiba-tiba –
“terlihat dalam kamera CCTV/pengawas” – ada seorang pria yang datang
menghampirinya dengan membawa tongkat pemukul baseball dan meminta
Sohail untuk menyerahkan sejumlah uang.
Tidak mau tunduk kepada penjahat
tersebut, Sohail langsung meraih senapan shotgun yang diletakkan dibawah
laci kasir tokonya. Merasa kalah dalam hal senjata, pria bertopeng
tersebut langsung kehilangan nyali, seketika itu dia menjatuhkan tongkat
pemukulnya ke tanah dan berlutut memohon ampun sambil menangis.
Perampok tersebut mengatakan bahwa dia terpaksa merampok untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang tengah kelaparan.
“Tolong jangan panggil polisi, jangan
tembak saya. Saya tidak punya uang, saya tidak punya makanan di rumah
saya,” tutur Sohail menirukan kata-kata perampok tersebut. “Dia menangis
tersedu-sedu seperti seorang bayi kecil,” tambah Sohail.
Tidak seperti kebanyakan warga kulit
putih AS lainnya yang langsung memanggil polisi jika berada dalam
situasi yang seperti itu, sang pemilik toko justru membuka dompetnya
lalu mengulurkan uang tunai sebanyak $40 berikut sebungkus roti, namun
dengan satu syarat, pria tersebut harus berhenti sama sekali tidak
pernah lagi akan merampok.
Seraya memberikan uang Suhail berkata,
“Pulanglah.,kembalilah kepada keluargamu!. Terlihat saat menerima uang
$40 tersebut, sang perampok tampak sangat terkesima.” Perampok itu
tertegun atas uang yang ia terima kemudian secara tidak terduga ia
mengatakan kepada Suhail bahwa dia ingin menjadi seorang Muslim seperti
Suhail.
Suhail dengan disertai rasa takjub kembali berkata, “Apakah kamu serius dengan ucapanmu itu?”Sang perampok dengan yakin menjawab, “Ya. Saya ingin menjadi muslim sepertimu..!”
Sohail menuturkan bahwa dirinya kemudian
meminta perampok tersebut untuk ikut mengucapkan dua kalimat syahadat
seperti yang dia ucapkan sembari mengangkat sebelah tangannya, kemudian
keadaan tersebut diakhiri dengan berjabatan tangannya sang perampok dan
pemilik toko yang akan dirampoknya.
Kemudian Suhail berkata. “Tunggulah di
sini sebentar, saya akan ke belakang mencarikan sesuatu untuk anda
mungkin terdapat susu di belakang yang juga bisa anda bawa pulang.”
Namun ketika Sohail kembali, sang perampok sudah meninggalkan toko.
Setelah
beberapa bulan kemudian, sang Rampok mengirim surat kepada Suhail dan
di dalam surat berisi uang 40 Dollar dengan maksud mengembalikan uang
yang telah diberikan Suhail sewaktu dirampoknya.
Isi judul surat itu menyebut “Your
Change My Life”, Maksudnya bahwa Suhail telah mengubah hidup sang
Perampok. Walau pada kenyataannya, Suhail tak pernah tahu dan mengenal
siapa pria yang telah merampoknya itu.
Di akhir Surat, Sang mantan rampok itu
mengakhiri coretan suratnya dengan “by Your Muslim Brothers” (dari
Saudara Semuslim Anda), sang mantan perampok benar telah menjadi Muslim.
Subhanallah…
untuk melihat video nya bisa klik link dibawah ini
http://www.youtube.com/watch?v=SoRiYOplcwY&feature=related
untuk melihat video nya bisa klik link dibawah ini
http://www.youtube.com/watch?v=SoRiYOplcwY&feature=related
Rabu, 15 Agustus 2012
sebaik baiknya pelindung adalah ALLAH Subhanahu wa Ta'ala
sebaik baiknya pelindung adalah ALLAH Subhanahu wa Ta'ala
dan seburuk-buruknya pelindung adalah para musuh-musuh Allah
setan akan tersenyum____
ketika kita mengatakan kata nanti/menunda2, disaat kita
seharusnya mampu untuk melakukan suatu kebaikan
dua pilihan hidup yg sering kita jumpai:
membuat setan marah dan memusuhinya
dan seburuk-buruknya pelindung adalah para musuh-musuh Allah
setan akan tersenyum____
ketika kita mengatakan kata nanti/menunda2, disaat kita
seharusnya mampu untuk melakukan suatu kebaikan
dua pilihan hidup yg sering kita jumpai:
membuat setan marah dan memusuhinya
atau mengikuti kemauan setan serta berteman dengannya
ketika kita mengikuti kemauan setan berarti
disaat itulah kita telah memulai untuk menentang Allah
sementara mengikuti setiap perintah2 Allah Subhanahu wa Ta'ala
adalah cara terbaik untuk memusuhi dan membuat setan marah ^_^
setan selalu memerangi kita dengan cara apapun
dan setan akan memperbudak siapapun
yg tidak mampu melawan atau menghadang peperangannya
nb:memohon perlindungan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala
merupakan cara terbaik untuk menghadapi peperangan dg setan
karna tidak ada satupun yg mampu merusak/mengganggu
siapaun yg telah mendapatkan perlindungan dari Allah
karna sebaik baiknya pelindung adalah ALLAH Subhanahu wa Ta'ala
dan seburuk-buruknya pelindung adalah para musuh-musuh Allah
ketika kita mengikuti kemauan setan berarti
disaat itulah kita telah memulai untuk menentang Allah
sementara mengikuti setiap perintah2 Allah Subhanahu wa Ta'ala
adalah cara terbaik untuk memusuhi dan membuat setan marah ^_^
setan selalu memerangi kita dengan cara apapun
dan setan akan memperbudak siapapun
yg tidak mampu melawan atau menghadang peperangannya
nb:memohon perlindungan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala
merupakan cara terbaik untuk menghadapi peperangan dg setan
karna tidak ada satupun yg mampu merusak/mengganggu
siapaun yg telah mendapatkan perlindungan dari Allah
karna sebaik baiknya pelindung adalah ALLAH Subhanahu wa Ta'ala
dan seburuk-buruknya pelindung adalah para musuh-musuh Allah
Jumat, 10 Agustus 2012
Kedermawanan NABI MUHAMMAD Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
Kedermawanan NABI MUHAMMAD Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang paling dermawan, dan kondisi beliau paling dermawan adalah di bulan Ramadhan di saat bertemu Jibril ‘Alaihis salam, di mana Jibril ‘alaihis salam sering bertemu beliau pada setiap malam dari bulan Ramadhan, lalu Jibril mengajarkannya al-Qur`an, dan sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia paling (cepat) dermawan dengan kebaikan daripada angin yang berhembus." (Shahih al-Bukhari Ma’a al-Fath 1/30 nomor 6. Shahih Muslim 4/1803.)
Dari Jabir radhiallahu ‘anhu berkata, "Tidaklah pernah sama sekali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diminta suatu (harta) lalu beliau berkata tidak." (Muttafaq Alaih)
Dari Anas radhiallahu ‘anhu berkata, "Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dimintai sesuatu atas keislaman, melainkan beliau akan memberikannya, sungguh seseorang telah datang kepada beliau, lalu beliau memberikan kepadanya domba yang berada di antara dua gunung, kemudian orang tersebut kembali kepada kaumnya seraya berkata, 'Wahai kaumku, masuklah kalian ke dalam Islam, karena Muhammad itu memberikan pemberian kepada orang yang tidak takut akan kemiskinan'." (HR. Muslim)
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, "Bahwasanya para sahabat menyembelih seekor domba lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, 'Adakah sisa darinya?' Aisyah berkata, 'Tidaklah tersisa kecuali hanya pundaknya saja,' beliau bersabda, 'Tersisa semuanya kecuali pundaknya'." (HR. Muslim).
Artinya, akan tersisa untuk kita di akhirat kelak, kecuali pundaknya saja.
Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dari Sahl bin Sa'd radhiallahu ‘anhu berkata, "Seorang wanita telah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa suatu pakaian, berupa mantel yang terukir pada ujung-ujungnya, lalu wanita itu berkata, 'Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, saya datang kepada anda untuk memberikan ini untuk anda', lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengambilnya, di mana beliau memang sangat membutuhkannya hingga beliau memakainya, kemudian mantel itu dilihat oleh seseorang dari para sahabat beliau, seraya berkata, 'Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, betapa indahnya mantel tersebut, maka berikanlah mantel itu kepadaku?' Beliau berkata, 'Ya', dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beranjak untuk memberikannya, para sahabat yang lain mencela orang tersebut seraya berkata, 'Engkau tidak bersikap baik ketika melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil mantel itu dari wanita tadi karena membutuhkannya, lalu engkau memintanya padahal engkau tahu bahwa tidaklah beliau itu dimintai sesuatu lalu beliau menolaknya', dia berkata, 'Demi Allah, tidaklah ada faktor yang mendorong saya melakukan itu melainkan karena saya berharap keberkahannya ketika telah dipakai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan saya berharap agar saya dikafani dengan mantel tersebut.
Dan dari Ibnu Mas'ud radhiallahu ‘anhu berkata, "Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati Bilal, sedangkan di sisinya ada setumpuk gandum, lalu beliau bersabda, 'Apa ini wahai Bilal?' Dia menjawab, 'Saya menyiapkannya untuk tamu-tamumu'. Beliau bersabda, 'Tidakkah engkau takut bahwa engkau memiliki masakan di Neraka Jahanam? Infakkan wahai Bilal dan janganlah engkau takut kemiskinan dari Dzat Yang memiliki Arsy'." (Dikeluarkan oleh al-Bazzar dengan isnad hasan, dan ath-Thabrani dari Abu Hurairah yang semisal dengan isnad yang hasan.)
Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, "Dan janganlah engkau takut kemiskinan dari Dzat Yang memiliki Arsy", adalah merupakan bentuk keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, berprasangka baik kepadaNya dan bertawakal kepadaNya diiringi dengan melakukan sebab-sebabnya.
Dan dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, "Abu Dzar radiallahu 'anhu berkata kepadaku, 'Wahai anak saudaraku, saya pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan memegang tangan beliau, lalu beliau bersabda kepadaku,
'Wahai Abu Dzar, saya tidak suka memiliki emas dan perak sebesar gunung Uhud lalu saya infakkan di jalan Allah lalu saya meninggal pada saat ajalku dengan meninggalkan sedikit harta.' Saya bertanya, 'Bagaimana dengan harta yang banyak?' Beliau bersabda, 'Wahai Abu Dzar, saya memilih yang sedikit sedangkan engkau memilih yang lebih banyak, saya menghendaki akhirat sedangkan engkau menghendaki dunia, cukuplah bagimu harta sedikit saja', lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengulanginya sebanyak tiga kali kepadaku'."( Dikeluarkan oleh ath-Thabrani semisalnya, dan al-Bazzar, serta al-Haitsami berkata, "Isnad al-Bazzar hasan.")
KISAH GADIS KECIL DI HARI RAYA IDUL FITRI
KISAH GADIS KECIL DI HARI RAYA IDUL FITRI
Kisah ini terjadi di Madinah pada suatu pagi di hari raya Idul Fitri. Rasulullah saw seperti biasanya mengunjungi rumah demi rumah untuk mendoakan para muslimin dan muslimah, mukminin dan mukminah agar merasa bahagia di hari raya itu. Alhamdulillah, semua terlihat merasa gembira dan bahagia, terutama anak-anak. Mereka bermain sambil berlari-lari kesana kemari dengan mengenakan pakaian hari rayanya.
Namun tiba-tiba Rasulullah saw melihat di sebuah sudut ada seorang gadis kecil sedang duduk bersedih. Ia memakai pakaian tambal- tambal dan sepatu yang telah usang. Rasulullah saw lalu bergegas menghampirinya. Gadis kecil itu menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangannya, lalu menangis tersedu-sedu.
Rasulullah saw kemudian meletakkan tangannya yang putih sewangi bunga mawar itu dengan penuh kasih sayang di atas kepala gadis kecil tersebut, lalu
bertanya dengan suaranya yang lembut : “Anakku, mengapa kamu menangis? Hari ini adalah hari raya bukan?” Gadis kecil itu terkejut.
Tanpa berani mengangkat kepalanya dan melihat siapa yang bertanya, perlahan- lahan ia menjawab sambil bercerita : “Pada hari raya yang suci ini semua anak menginginkan agar dapat merayakannya bersama orang tuanya
dengan berbahagia. Anak-anak bermain dengan riang gembira.
Aku lalu teringat pada ayahku, itu sebabnya aku menangis. Ketika itu hari raya terakhir bersamanya. Ia membelikanku sebuah gaun berwarna hijau dan sepatu baru. Waktu itu aku sangat bahagia. Lalu suatu hari ayahku pergi berperang bersama Rasulullah saw. Ia bertarung bersama Rasulullah saw bahu - membahu dan kemudian ia meninggal. Sekarang ayahku tidak ada lagi. Aku telah menjadi seorang anak yatim. Jika aku tidak menangis untuknya, lalu siapa lagi?”
Setelah Rasulullah saw mendengar cerita itu, seketika hatinya diliputi kesedihan yang mendalam. Dengan penuh kasih sayang ia membelai
kepala gadis kecil itu sambil berkata:
“Anakku, hapuslah air matamu… Angkatlah kepalamu dan dengarkan apa yang akan kukatakan kepadamu…. Apakah kamu ingin agar aku menjadi ayahmu? …. Dan apakah kamu juga ingin agar Fatimah menjadi kakak perempuanmu…. dan Aisyah menjadi ibumu…. Bagaimana pendapatmu tentang usul dariku ini?” Begitu mendengar kata-kata itu, gadis kecil itu langsung berhenti menangis.
Ia memandang dengan penuh takjub orang yang berada tepat di hadapannya. Masya Allah! Benar, ia adalah Rasulullah saw, orang tempat ia baru saja mencurahkan kesedihannya dan menumpahkan segala gundah di hatinya.
Gadis yatim kecil itu sangat tertarik pada tawaran Rasulullah saw, namun entah mengapa ia tidak bisa berkata sepatah katapun. Ia hanya dapat menganggukkan kepalanya perlahan sebagai tanda persetujuannya. Gadis yatim kecil itu lalu bergandengan tangan dengan Rasulullah saw menuju ke rumah. Hatinya begitu diliputi kebahagiaan yang sulit untuk dilukiskan, karena ia diperbolehkan menggenggam tangan Rasulullah saw yang lembut seperti
sutra itu.
Sesampainya di rumah, wajah dan kedua tangan gadis kecil itu lalu dibersihkan dan rambutnya disisir. Semua memperlakukannya dengan penuh kasih sayang. Gadis kecil itu lalu dipakaikan gaun yang indah dan diberikan makanan, juga uang saku untuk hari raya. Lalu ia diantar keluar, agar dapat bermain bersama anak - anak lainnya. Anak-anak lain merasa iri pada gadis kecil dengan gaun yang indah dan wajah yang berseri-seri itu. Mereka merasa keheranan, lalu bertanya : “Gadis kecil, apa yang telah terjadi? Mengapa kamu terlihat sangat gembira?” Sambil menunjukkan gaun baru dan uang sakunya gadis kecil itu menjawab : “Akhirnya aku memiliki seorang ayah!
Di dunia ini, tidak ada yang bisa menandinginya! Siapa yang tidak bahagia memiliki seorang ayah seperti Rasulullah? Aku juga kini memiliki seorang ibu, namanya Aisyah, yang hatinya begitu mulia. Juga seorang kakak perempuan, namanya Fatimah. Ia menyisir rambutku dan mengenakanku gaun yang indah ini. Aku merasa sangat bahagia, dan ingin rasanya aku memeluk seluruh dunia beserta isinya.”
Rasulullah saw bersabda : ”Siapa yang memakaikan seorang anak pakaian yang indah dan mendandaninya pada hari raya, maka Allah SWT akan
mendandani/menghias inya pada hari Kiamat. Allah SWT mencintai terutama setiap rumah, yang di dalamnya memelihara anak yatim dan banyak membagi-bagikan hadiah. Barangsiapa yang memelihara anak yatim dan melindunginya, maka ia akan bersamaku di surga.” ♥ Semoga bisa diambil hikmahnya
Sumber dari kisah Teladan di Google
Kisah ini terjadi di Madinah pada suatu pagi di hari raya Idul Fitri. Rasulullah saw seperti biasanya mengunjungi rumah demi rumah untuk mendoakan para muslimin dan muslimah, mukminin dan mukminah agar merasa bahagia di hari raya itu. Alhamdulillah, semua terlihat merasa gembira dan bahagia, terutama anak-anak. Mereka bermain sambil berlari-lari kesana kemari dengan mengenakan pakaian hari rayanya.
Namun tiba-tiba Rasulullah saw melihat di sebuah sudut ada seorang gadis kecil sedang duduk bersedih. Ia memakai pakaian tambal- tambal dan sepatu yang telah usang. Rasulullah saw lalu bergegas menghampirinya. Gadis kecil itu menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangannya, lalu menangis tersedu-sedu.
Rasulullah saw kemudian meletakkan tangannya yang putih sewangi bunga mawar itu dengan penuh kasih sayang di atas kepala gadis kecil tersebut, lalu
bertanya dengan suaranya yang lembut : “Anakku, mengapa kamu menangis? Hari ini adalah hari raya bukan?” Gadis kecil itu terkejut.
Tanpa berani mengangkat kepalanya dan melihat siapa yang bertanya, perlahan- lahan ia menjawab sambil bercerita : “Pada hari raya yang suci ini semua anak menginginkan agar dapat merayakannya bersama orang tuanya
dengan berbahagia. Anak-anak bermain dengan riang gembira.
Aku lalu teringat pada ayahku, itu sebabnya aku menangis. Ketika itu hari raya terakhir bersamanya. Ia membelikanku sebuah gaun berwarna hijau dan sepatu baru. Waktu itu aku sangat bahagia. Lalu suatu hari ayahku pergi berperang bersama Rasulullah saw. Ia bertarung bersama Rasulullah saw bahu - membahu dan kemudian ia meninggal. Sekarang ayahku tidak ada lagi. Aku telah menjadi seorang anak yatim. Jika aku tidak menangis untuknya, lalu siapa lagi?”
Setelah Rasulullah saw mendengar cerita itu, seketika hatinya diliputi kesedihan yang mendalam. Dengan penuh kasih sayang ia membelai
kepala gadis kecil itu sambil berkata:
“Anakku, hapuslah air matamu… Angkatlah kepalamu dan dengarkan apa yang akan kukatakan kepadamu…. Apakah kamu ingin agar aku menjadi ayahmu? …. Dan apakah kamu juga ingin agar Fatimah menjadi kakak perempuanmu…. dan Aisyah menjadi ibumu…. Bagaimana pendapatmu tentang usul dariku ini?” Begitu mendengar kata-kata itu, gadis kecil itu langsung berhenti menangis.
Ia memandang dengan penuh takjub orang yang berada tepat di hadapannya. Masya Allah! Benar, ia adalah Rasulullah saw, orang tempat ia baru saja mencurahkan kesedihannya dan menumpahkan segala gundah di hatinya.
Gadis yatim kecil itu sangat tertarik pada tawaran Rasulullah saw, namun entah mengapa ia tidak bisa berkata sepatah katapun. Ia hanya dapat menganggukkan kepalanya perlahan sebagai tanda persetujuannya. Gadis yatim kecil itu lalu bergandengan tangan dengan Rasulullah saw menuju ke rumah. Hatinya begitu diliputi kebahagiaan yang sulit untuk dilukiskan, karena ia diperbolehkan menggenggam tangan Rasulullah saw yang lembut seperti
sutra itu.
Sesampainya di rumah, wajah dan kedua tangan gadis kecil itu lalu dibersihkan dan rambutnya disisir. Semua memperlakukannya dengan penuh kasih sayang. Gadis kecil itu lalu dipakaikan gaun yang indah dan diberikan makanan, juga uang saku untuk hari raya. Lalu ia diantar keluar, agar dapat bermain bersama anak - anak lainnya. Anak-anak lain merasa iri pada gadis kecil dengan gaun yang indah dan wajah yang berseri-seri itu. Mereka merasa keheranan, lalu bertanya : “Gadis kecil, apa yang telah terjadi? Mengapa kamu terlihat sangat gembira?” Sambil menunjukkan gaun baru dan uang sakunya gadis kecil itu menjawab : “Akhirnya aku memiliki seorang ayah!
Di dunia ini, tidak ada yang bisa menandinginya! Siapa yang tidak bahagia memiliki seorang ayah seperti Rasulullah? Aku juga kini memiliki seorang ibu, namanya Aisyah, yang hatinya begitu mulia. Juga seorang kakak perempuan, namanya Fatimah. Ia menyisir rambutku dan mengenakanku gaun yang indah ini. Aku merasa sangat bahagia, dan ingin rasanya aku memeluk seluruh dunia beserta isinya.”
Rasulullah saw bersabda : ”Siapa yang memakaikan seorang anak pakaian yang indah dan mendandaninya pada hari raya, maka Allah SWT akan
mendandani/menghias inya pada hari Kiamat. Allah SWT mencintai terutama setiap rumah, yang di dalamnya memelihara anak yatim dan banyak membagi-bagikan hadiah. Barangsiapa yang memelihara anak yatim dan melindunginya, maka ia akan bersamaku di surga.” ♥ Semoga bisa diambil hikmahnya
Sumber dari kisah Teladan di Google
Tanggisan Nabi Muhammad saw menggetarkan Arasy
Tanggisan Nabi Muhammad saw menggetarkan Arasy
“Dikisahkan, bahawasanya di waktu Rasulullah s.a.w. sedang asyik bertawaf di Ka ’bah, beliau mendengar seseorang di hadapannya bertawaf, sambil berzikir: “Ya Karim! Ya Karim!” Rasulullah s.a.w. menirunya membaca “Ya Karim! Ya Karim!” Orang itu lalu berhenti di salah satu sudut Ka ’bah, dan berzikir lagi: “ Ya Karim! Ya Karim!” Rasulullah s.a.w. yang berada di belakangnya mengikut zikirnya “Ya Karim! Ya Karim!”
Merasa seperti diolok-olokkan, orang itu menoleh ke belakang dan terlihat olehnya seorang laki-laki yang gagah, lagi tampan yang belum pernah dikenalinya. Orang itu lalu berkata: “Wahai orang tampan! Apakah engkau memang sengaja memperolok-olokkanku, kerana aku ini adalah orang Arab badwi? Kalaulah bukan kerana ketampananmu dan kegagahanmu, pasti engkau akan aku laporkan kepada kekasihku, Muhammad Rasulullah. ”
Mendengar kata-kata orang badwi itu, Rasulullah s.a.w. tersenyum, lalu bertanya: “Tidakkah engkau mengenali Nabimu, wahai orang Arab ?” “Belum,”jawab orang itu. “Jadi bagaimana kau beriman kepadanya ?” “Saya percaya dengan mantap atas kenabiannya, sekalipun saya belum pernah melihatnya, dan membenarkan perutusannya, sekalipun saya belum pernah bertemu dengannya, ” kata orang Arab badwi itu pula.
Rasulullah s.a.w. pun berkata kepadanya: “Wahai orang Arab! Ketahuilah aku inilah Nabimu di dunia dan penolongmu nanti di akhirat !” Melihat Nabi dihadapannya, dia tercengang, seperti tidak percaya kepada dirinya. “Tuan ini Nabi Muhammad?!” “Ya” jawab Nabi s.a.w. Dia segera tunduk untuk mencium kedua kaki Rasulullah s.a.w. Melihat hal itu, Rasulullah s.a.w.menarik tubuh orang Arab itu, seraya berkata kepadanya: “Wahai orang Arab! janganlah berbuat serupa itu. Perbuatan serupa itu biasanya dilakukan oleh hamba sahaya kepada tuannya, Ketahuilah, Allah mengutusku bukan untuk menjadi seorang yang takabbur yang meminta dihormati, atau diagungkan, tetapi demi membawa berita gembira bagi orang yang beriman, dan membawa berita menakutkan bagi yang mengingkarinya.”
Ketika itulah, Malaikat Jibril a.s. turun membawa berita dari langit dia berkata: “Ya Muhammad! Tuhan As-Salam mengucapkan salam kepadamu dan bersabda:
“ Katakanlah kepada orang Arab itu, agar dia tidak terpesona dengan belas kasih Allah. Ketahuilah bahawa Allah akan menghisabnya di hari Mahsyar nanti, akan menimbang semua amalannya, baik yang kecil mahupun yang besar !” Setelah menyampaikan berita itu, Jibril kemudian pergi.
Maka orang Arab itu pula berkata:
“ Demi keagungan serta kemuliaan Tuhan, jika Tuhan akan membuat perhitungan atas amalan hamba, maka hamba pun akan membuat perhitungan dengannya !”kata orang Arab badwi itu. “Apakah yang akan engkau perhitungkan dengan Tuhan ?” Rasulullah bertanya kepadanya. ‘Jika Tuhan akan memperhitungkan dosa – dosa hamba, maka hamba akan memperhitungkan betapa kebesaran maghfirahnya, ’ jawab orang itu. ‘ Jika Dia memperhitungkan kemaksiatan hamba, maka hamba akan memperhitungkan betapa keluasan pengampunanNya. Jika Dia memperhitungkan kekikiran hamba, maka hamba akan memperhitungkan pula betapa kedermawananNya! ’
Mendengar ucapan orang Arab badwi itu, maka Rasulullah s.a.w. pun menangis mengingatkan betapa benarnya kata-kata orang Arab badwi itu, air mata beliau meleleh membasahi Janggutnya. Lantaran itu Malaikat Jibril turun lagi seraya berkata: “ Ya Muhammad! Tuhan As-Salam menyampaikan salam kepadamu, dan bersabda:
“Berhentilah engkau dari menangis! Sesungguhnya kerana tangismu, penjaga Arasy lupa dari bacaan tasbih dan tahmidnya, sehingga la bergoncang. Katakan kepada temanmu itu, bahawa Allah tidak akan menghisab dirinya,juga tidak akan memperhitungkan kemaksiatannya. Allah sudah mengampuni semua kesalahannya dan la akan menjadi temanmu di syurga nanti !”
Betapa sukanya orang Arab badwi itu, apabila mendengar berita tersebut. la lalu menangis kerana tidak berdaya menahan keharuan dirinya.
Sumber Sirah Nabawiy
Langganan:
Postingan (Atom)